Recent News

Kamis, 31 Mei 2012

Kajian Pengaruh Lingkungan Dalam Perilaku School Bullying di SMAN 70 Jakarta Selatan


Kajian Pengaruh Lingkungan Dalam Perilaku School Bullying di SMAN 70 Jakarta Selatan

Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kenakalan Anak

Diusulkan oleh :
Muhammad Arief, 1106084002, Kriminologi Paralel 2011
Kahfi Dirga Cahya, 1106084280, Kriminologi Paralel 2011
Ryan Andaro Purba, 1106084192, Kriminologi Paralel 2011
Tubagus Ryan Aronda, 1106084122, Kriminologi Paralel 2011

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2012

BAB I
Pendahuluan

1.      Latar Belakang Masalah
Kehadiran sekolah dalam kehidupan merupakan sebuah wadah yang dinilai sebagai kebutuhan dasar manusia dalam membangun intelektualitas. Sekolah dalam hal ini memiliki ruang lingkup pendidikan yang notabenya – adalah sebuah program yang dibuat untuk memberikan ilmu kepada generasi penerus dalam membentuk potensi diri.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Kemndiknas pada tahun 2010/2011, terdapat 11.306 Sekolah Menengah Atas (SMA), baik negeri ataupun swasta di Indonesia.[1] Hal ini merupakan sebuah gambaran atas pesatnya perkembangan pendidikan di Indonesia. Ini didasari kesadaran masyarakat tentang pendidikan yang mulai bertambah. Dikarenakan masyarakat menilai bahwa pendidikan merupakan institusi yang sangat penting dan mempengaruhi kehidupan.
Namun hal ini tidak diiringi dengan praktik timbal balik yang terjadi di sekolah. Keberadaan sekolah yang seharusnya menjadi tempat bagi anak untuk menimba ilmu serta membantu membentuk karakter pribadi yang positif ternyata malah menjadi tempat tumbuhnya praktek-praktek school bullying. Kekerasan tersebut melibatkan banyak pihak yang terkait di dalamnya, mulai dari teman antar teman ataupun guru.
Berdasarkan data Komisi Nasional (Komnas) Anak pada tahun 2007 tentang tempat terjadinya bullying, terdapat 226 kasus atau 54,20% bullying terdapat di sekolah sedangkan 191 kasus atau 45,80% terjadi di luar sekolah. Kemudian, hal ini didukung juga oleh bentuk bullying yang terjadi, kekerasan fisik sebesar 89 kasus atau 21,34%, kekerasan seksual sebesar 118 kasus atau 28,30% dan kekerasan psikis sebesar 210 kasus atau 50,36%.[2] Data ini mencerminkan sekolah seakan gagal dalam pembentukan karakter intelektual terhadap pelajar.
Contoh kasus yang berkaitan dengan school bullying di sekolah adalah tindakan yang dilakukan oleh Geng Nero. Kekerasan ini dilakukan oleh remaja putrid di Pati, Jawa Tengah, terhadap juniornya yang dirasa tidak sepaham dengan mereka. Kasus lainnya adalah kasus Geng Gazper yang terjadi di SMAN 34 Jakarta [detikNews, 14 November 2007].[3] Hal ini merupakan satu dari banyak kasus school bullying di kalangan pelajar sekolah.
Berdasarkan survey yang dilakukan SEJIWA (2006) pada guru-guru di 3 SMA di dua kota besar di pulau Jawa menunjukkan bahwa dampak negative bullying masih belum sepenuhnya disadari oleh para guru. Banyak pihak menganggap bahwa perilaku school bullying sehari-hari di kalangan pelajar adalah hal yang wajar terjadi.[4]
2.      Permasalahan
Dalam penelitian internasional menunjukan bahwa school bullying adalah perilaku umum yang terjadi di sekolah. Intimidasi tersebut terjadi di berbagai tingkatan kelas. Namun sering terjadi di sekolah tingkat menengah tinggi. Pada dasarnya school bullying juga penting karena hubungannya dengan kejahatan, kriminal, kekerasan, dan jenis-jenis perilaku antisosial yang agresif.[5]
Perilaku school bullying di SMAN 70 Jakarta merupakan tindakan yang sengaja di wariskan. Secara konkrit school bullying ini terjadi di berbagai tahap, diantaranya adalah dalam bentuk inisiasi pada masa awal tahun ajaran baru. Hal ini terjadi secara berulang dikarenakan ada satu ciri yang di dapat tersendiri jika melakukan school bullying. Selain itu  tindak kekerasan yang melibatkan siswa SMAN 70 Jakarta ini sudah sangat sistemik karena terus berulang dan terjadi pembiaran meski pihak sekolah telah mengetahuinya. Tindak kekerasan tersebut dinilainya tidak terjadi secara spontan, tetapi seperti ada yang telah merancangnya.[6]
Gambaran akan diri atau self-image merupakan bagian yang penting bagi remaja untuk menginternalisasi nilai-nilai iternal yang ia pelajari didalam lingkungan peer group nya dimana hal itu dilakukan untuk mendapatkan kenyamanan bagi dirinya berdasarkan dengan peran-peran yang ia harapkan terutama mengenai apa yang harus dilakukan dalam interaksi interpersonal dengan teman-teman sebayanya. Simbol mengenai dirinya tersebut akan berkembang dan mengiringi remaja dalam kehidupan pribadinya. Berdasarkan hal tersebut remaja harus dapat secara tegas untuk mengatasi interaksi yang tidak baik atau tidak sesuai dimana hal ini merupakan berntuk proteksi terhadap diri sendiri. Bentuk proteksi tersebut dapat disesuaikan dengan keadaan dimana remaja mendapatkan kekerasan tetapi tidak mencakup kekerasan verbal maupun ekspresi internal yang diberikan oleh pelaku kejahatan.[7]
Oleh karena itu kami membuat beberapa pertanyaan penelitian, yaitu:
1.      Bagaimanakah Pengaruh Lingkungan Terhadap Perilaku School Bullying Siswa di SMAN 70 Jakarta Selatan ?
2.      Bagaimanakah Pengaruh Lingkungan Dalam Pencapaian Status Lewat Perilaku School Bullying siswa di SMAN 70 Jakarta Selatan ?
3.      Tujuan Penelitian
Secara pasti tujuan dari penelitian ini, yaitu:
1.      Mengidentifikasi penyebab suatu gejala sosial mengenai school bullying di kalangan pelajar SMAN 70 Jakarta.
2.      Menemukan formula strategi pencegahan school bullying yang tepat yang dapat mereduksi dan mengontrol school bullying antar pelajar yang kerap terjadi di SMAN 70 Jakarta. Dengan itu diharapkan dapat meningkatkan rasa aman dan nyaman sehingga pelajar SMAN 70 Jakarta dapat memaksimalkan potensi intelektualitas yang mereka miliki.
4.      Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam pembuatan artikel ilmiah yang dapat digunakan sebagai bahan referensi yang valid bagi dunia pendidikan maupun dalam pembuatan kebijakan terkait strategi pencegahan school bullying di kalangan pelajar.

BAB II
Kajian Literatur dan Kerangka Pemikiran

1.      Kajian Literatur
Dalam Jurnal Evaluation of an Anti-Bullying Program: Student Reports of Knowledge and Confidence to Manage Bullying, Olweus (1999) mendefinsikan bullying menjadi 3 kretireia yaitu 1. Sifat agressif atau tindakan berbahaya, 2. Dan dilakukan berulang kali dari waktu ke waktu, 3. Hubungan interpersonal yang ditandai dengan ketidak seimbangan kekuatan.  Perilaku intimidasi sering terjadi tanpa penyebab yang tidak jelas dan tindakan negative dapat dilakukan dengan cara melakukan kontak fisik, dengan kata-kata, atau dengan cara lain seperti membuat raut wajah atau geraktubuh sebagai sebuah isyarat, dan pengucilan dari kelompok. (Farrington, 1993; Smith & Sharp, 1994).[8]
Lain daripada itu jurnal Understanding and Preventing Bullying, mengungkapkan bullying biasanya di definisikan sebagai agresi berulang diarahkan pada rekan yang tidak mampu membela dirinya sendiri (Slee, 1995; Smith et al., 1999; Slee, 1995). Para peneliti telah mengidentifikasi berbagai faktor biologis dan lingkungan terlibat dalam bullying, sebagai contoh anak cenderung menjadi korban jika mereka cemas dan terisolasi dari teman-teman mereka,orang tuanya mengalami depresi dan konflik, atau orang tua mereka menggunakan gaya  otoriter di rumah. (Beran & Violato, 2004; Loeber & Dishion, 1983). Menurut meta-anilisis yang dilakukan oleh Hawker dan Boulton (2000), anak-anak yang diganggu adalah cenderung merasa kesepian dan tertekan, dan memiliki harga diri yang rendah. Misalnya, anak-anak mengalami tingkat kemarahan dan depresi yang beresiko tinggi untuk terlibat dalam perilaku kriminal sebagai orang dewasa (Espelage, Bosworth, & Simon; 2001; Olweus, 1991; Slee, 1995). [9]
Bullying juga penting karena hubungannya dengan kejahatan, kekerasan kriminal, dan jenis-jenis perilaku agresif antisosial. Bullying muncul dari interaksi antara pelaku potensial dan calon korban dalam sebuah  lingkungan yang mempunyai kesempatan. Banyak peneliti telah membedakan  antara intimidasi fisik dan psikologis dan mereka berpendapat bahwa bullying adalah lebih karakteristik anak laki-laki, sedangkan psikologis bullying adalah lebih karakteristik anak perempuan (misalnya, Stephenson dan Smith 1989; Besag 1991; Smith dan Thompson 1991b). Pencegahan berfokus pada bullying,  banyak strategi  dalam mengurangi bullying dapat diklasifikasikan di bawah hukum pidana yaitu deterrence, retribution, reformation, incapacitation, denunciation, and reparation. Sebagai contoh bullying adalah pelanggaran yang paling sering menyebabkan hukuman fisik di Irlandia Utara (Tattum 1989). Di Cleveland, penggunaan hukuman fisik untuk mencegah bullying kadang-kadang dianggap untuk  membantu sekitar setengah guru dan sekitar sepertiga dari staf  layanan Psikologis. (Stephenson and Smith 1989).  Seperti pencegahan dengan fokus pada pelaku bullying, ada usulan untuk pencegahan dengan fokus pada korban, banyak didasarkan pada pengalaman praktis. Misalnya, Jones (1991) menyarankan bahwa guru harus memperingatkan anak-anak tentang kemungkinan diintimidasi ketika mereka tiba di sekolah menengah, atau bahkan sebelum mereka tiba, pada hari induksi. Dia juga menyarankan menggunakan drama untuk menunjukkan anak-anak cara untuk menolak pelaku atau bagaimana cara memberitahu guru tentang bullying. Pencegahan bullying berfaktor Lingkungan Upaya pencegahan yang paling berfokus pada lingkungan sekolah telah berpusat pada peningkatan pengawasan (terutama di taman bermain), pada "pengadilan pelaku," atau pada pendekatan "seluruh-sekolah" untuk bullying. Sebagai contoh, Besag (1989b, 1991) menunjukkan kebutuhan untuk memiliki baik diawasi taman bermain, koridor, toilet, dan ruang ganti. Sayangnya, supervisor makan siang yang sering kurang dibayar, tidak terlatih, dan kualitas yang buruk.[10]
Bullying di sekolah sangat berpengaruh pada siswa, yang menimbulkan konsekuensi kekerasan dan masalah bagi korban dan pelaku (Hazier, 1994). Banyak pelaku di sekolah memiliki masalah dengan hukum di masa dewasa mereka (Batsche &Knoff, 1994; Eron&Huesmann, 1984; Farrington, 1991; Lochman, 1992; Olweus, 1994). Korban bullying menderita kehilangan harga diri jangka panjang ke dalam kehidupan dewasa mereka (Boulton &Underwood, 1992; Slee, 1994). Studi penelitian telah berusaha dengan beberapa keberhasilan untuk mengidentifikasi karakteristik penting dari korban dan pelaku. Dalam kajian mereka, Batsche dan Knoff (1994) menyimpulkan bahwa pelaku datang dari keluarga di mana orang tua otoriter, kasar, dan menolak, memiliki kemampuanyang miskin dalam memecahkan masalah. Bullying memiliki sejarah perilaku agresif, dan mereka sering mengambil keuntungan dari kekuatan fisik mereka (Olweus,1991b) Korban bullying tanpa teman di sekolah dan terlalu dilindungi oleh orangtua mereka di rumah (Olweus, 1978).
Beberapa studi penelitian telah mengidentifikasi siklus korban bullying di
sekolah (misalnya, Besag, 1989; Carvel, 1992). Misalnya, siswa dengan lemah
kondisi fisik lebih mungkin dibandingkan dengan kondisi fisik yang lebih kuat
untuk menjadi korban dan pelaku (Perry, dkk., 1988).
Teori pembelajaran sosial mungkin memainkan peran penting dalam menjelaskan siklus korban bullying seperti yang telah digunakan dalam studi tentang kekerasan dan penyalahgunaan (misalnya, Lorber, Felton, &Reid, 1984;Matson, 1989; Sobsey, 1994). Sebagai contoh, Lorber dkk(1984) membahas peran teori pembelajaran sosial dalam siklus korban pelaku pelecehan. Peneliti menemukan bahwa korban kekerasan seringkali lebih cenderung mengganggu, agresif, dan kekerasan dari rekan-rekan non-abused mereka, dan mereka menjelaskan hasil perilaku seperti pembelajaran sosial. Penjelasan ini muncul untuk cocok dengan beberapa temuan dalam penelitian yang gertakan beberapa yang paling korban ekstrim bullying juga beberapa yang paling agresif pelaku (Perry et al, 1988.)[11]
Penelitian Student Victimization: National and School System Effects on School Violence in 37 Nations mengambil perspektif bahwa kekerasan di sekolah adalah fenomena global yang mempengaruhi salah satu inti pemikiran masyarakat modern sebagian besar mengenai kekerasan. Studi kusus mengenai kenakalan atau bullying, memiliki fokus pada individu, kelompok dan struktur sosial. Lintas-nasional studi kejahatan umum (misalnya pembunuhan) cenderung berfokus pada tingkat nasional prediktor tingkat kejahatan tapi tidak berusaha untuk mempelajari bagaimana karakteristik nasional atau seluruh sistem sekolah.
Dalam karya sebelumnya penelitian ini menemukan bahwa karakteristik masyarakat nasional pendidikan-sistem nasional merupakan faktor kuat yang mempengaruhi ukuran dan fungsi dari bayangan sistem pendidikan (Baker et al., 2001) serta pola dasar guru saat berperan (Letendre et al., 2001). Selain faktor-faktor yang dibahas di atas, kita berhipotesis bahwa karakteristik nasional pendidikan akan secara signifikan terkait dengan seluruh sistem tingkat kekerasan. Sebagai contoh, sebuah sistim yang menghasilkan rendahnya tingkat prestasi dapat membuat sejumlah besar siswa yang menemukan sekolah yang tidak berguna dan mungkin lebih rentan untuk bertindak
Tahap pertama terdiri dari sampel probabilitas-proporsiol agar ukuran sekolah yang dipilih oleh sebagian besar siswa di tingkat kelas yang ditargetkan. Tahap kedua sampel hingga dua ruang kelas matematika per sekolah dengan probabilitas yang sama seleksi, dan semua siswa dalam kelas dilibatkan dalam penelitian. Matematika dan tes prestasi ilmu pengetahuan serta kuesioner latar belakang siswa, guru, dan kepala sekolah dirancang untuk menjadi sebanding di negara. Itu mempelajari bobot sampling yang dikembangkan untuk menyesuaikan dalam pengambilan sampel proporsional dari sub kelompok dan non-respon (Gonzalez & Smith, 1997). Ini mendokumentasikan angka dasar yang sekolah kekerasan, dalam satu bentuk atau lainnya, memang masalah internasional, dan bahwa tidak ada negara yang kebal.
Kedua guru dan siswa melihat kekerasan di sekolah yang mempengaruhi kehidupan mereka. Data ini sebagian besar telah hilang yang belum diakui dalam perdebatan saat ini tentang restrukturisasi atau memperbaiki sekolah-sekolah AS. Namun, beberapa mungkin berpendapat bahwa kekerasan di sekolah benar-benar dihasilkan oleh kekerasan dalam masyarakat dan bahwa kebijakan pendidikan dapat berdampak kecil terhadap tingkat kekerasan sekolah. Telah umumnya dianggap bahwa tingkat kekerasan di sekolah dan kenakalan remaja lainnya adalah cerminan dari tingkat kejahatan di masyarakat (Elliot, Hamburg, & Williams, 1998; Lawrence, 1998). Namun, lintas data nasional tidak mendukung anggapan ini. Tidak ada satu indikator sekolah kekerasan secara signifikan berhubungan dengan tingkat kejahatan yang disajikan di sini.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kekerasan sekolah tidak secara langsung untuk keseluruhan tingkat kejahatan atau penyimpangan dalam suatu masyarakat tertentu. Karena kurangnya lintas data nasional pada tingkat kejahatan usia tertentu, mungkin terjadi bahwa kekerasan di sekolah berkaitan dengan tingkat kejahatan remaja, tetapi sama masuk akal bahwa kejahatan remaja atau penyimpangan yang terjadi di luar sekolah berbeda dari kejahatan atau menyimpang bertindak dilakukan dalam sekolah. Penelitian tersebut  mengambil sebagai premis bekerja kemudian bahwa kekerasan yang terjadi di dalam sekolah lebih cenderung berasal dari faktor proksimat dalam sistem sekolah itu sendiri.
Pindah dari premis ini, kita berharap bahwa faktor-faktor seperti mekanisme menjaga berat atau sistem yang menghasilkan sejumlah besar akademik. Temuan utama dari penelitian ini dapat ringkas sebagai berikut:
·         Kekerasan sekolah secara luas lazim di antara 37 negara yang diteliti.
·         Kekerasan tidak berhubungan dengan tingkat kejahatan umum di bangsa dan tingkat sekolah
·         Kekerasan terkait dengan beberapa indikator sosial seperti:
o   Kekurangan mutlak dan distribusi umur tapi tidak kepada orang lain seperti ketimpangan penghasilan atau integrasi sosial.
·         Kekerasan terkait dengan sekolah-sistem variabel dan dampak dari variabel independen dari variabel sosial.
·         Ketika sekolah-sistem variabel yang dikontrol, banyak variabel sosial-yang menjadi tidak bermakna.
Walaupun temuan dapat dinyatakan sederhana, implikasi dari data ini adalah kuat dan kompleks. Penelitian ini menantang banyak keyakinan konvensional dari komunitas kebijakan pendidikan serta panggilan mempertimbangkan nilai jelas langkah-langkah nasional kondisi sosial dalam memprediksi kekerasan di sekolah. Hal ini juga menunjukkan kesulitan dalam menggunakan teori tradisional kenakalan remaja atau penyimpangan menjelaskan tarif nasional kekerasan sekolah.[12]
2.      Kerangka Pemikiran
Menurut teori konvergensi yang dikemukan oleh William Stern, dikemukakan bahwa perkembangan individu tidak hanya dipengaruhi oleh faktor bawaan saja, tetapi faktor lingkungan juga ikut berpengaruh. Sehingga manusia perlu berinteraksi dengan lingkungan sekitar.[13]
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang dimaksud dengan anak adalah:[14]
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”
Menurut Ganter & Yeakel, menurut sekolah adalah lembaga yang terakreditasi bagi anak; pengaruhnya terhadap sikap mereka mengembangkan adalah signifikan. Sikap dikembangkan sesuai dengan kebutuhan bagi seorang anak untuk mendapatkan proses yang tepat. Salah satu fungsi utama dari sekolah adalah mencari pengetahuan. Sikap anak terhadap belajar terutama ditandai oleh pengetahuan mencari, dan sikap ini sering berubah dalam kondisi sekolah formal. Di banyak sekolah anak masih diharapkan menjadi tidak aktif, anak terkadang bersikap malas dan kurang ada rasa ingin tahu.[15]
School Bulying menurut Riauksina, Djuwita dan Soesinto didefinisikan sebagai perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang/sekelompok pelajar yang memiliki kekuasaan, terhadap pelajar/siswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut.[16]  
Gambaran akan diri atau self-image merupakan bagian yang penting bagi remaja untuk menginternalisasi nilai-nilai internal yang ia pelajari didalam lingkungan peer group nya dimana hal itu dilakukan untuk mendapatkan kenyamanan bagi dirinya berdasarkan dengan peran-peran yang ia harapkan terutama mengenai apa yang harus dilakukan dalam interaksi interpersonal dengan teman-teman sebayanya. Simbol mengenai dirinya tersebut akan berkembang dan mengiringi remaja dalam kehidupan pribadinya. Berdasarkan hal tersebut remaja harus dapat secara tegas untuk mengatasi interaksi yang tidak baik atau tidak sesuai dimana hal ini merupakan berntuk proteksi terhadap diri sendiri. Bentuk proteksi tersebut dapat disesuaikan dengan keadaan dimana remaja mendapatkan kekerasan tetapi tidak mencakup kekerasan verbal maupun ekspresi internal yang diberikan oleh pelaku kejahatan.[17]
Cohen dengan teori subkebudayaan delinkuennya menjelaskan bahwa perilaku kenakalan dilakukan oleh anak-anak yang berkelompok dengan teman-temannya. Kenakalan ini salah satunya adalah bullying, yang menurut Cohen sebuah tindakan yang tidak memiliki asas atau tujuan yang jelas.[18] 
Shawn dan Mc Kay mengemukakan sebuah teori yang berpendapat bahwa kenakalan perlu di transmisi karena pengaruh gaya hidup dan  mendapatkan status merupakan hal yang penting. Teori ini dinamakan sebagai Cultural Transmission Theory. [19]


BAB III
Metode Penelitian

1.      Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian adalah mengacu pada cara peneliti melihat suatu gejala atau realitas sosial yang didasari pada asumsi dasar. Dalam penelitian kualitatif gejala sosial didefinisikan melalui hasil pemaknaan atau interpretasi. Pendekatan kualitatif dipilih karena peneliti beranggapan bahwa penelitian kualitatif dapat menggambarkan realitas yang ada dan pendekatan ini dinilai sangat peka karena dapat menangkap aspek dalam dunia sosial yang sulit ditangkap melalui angka-angka (Neuman, 1997:239).
Mengutip pandangan Taylor dan Bogdan (1984:5), Hendrarso (2005:166) mengatakan bahwa penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif mengenai kata-kata lisan maupun tertulis, dan tingkah laku yang dapat diamati dari orang-orang yang diteliti.Penelitian kualitatif disebut verstehen (pemahaman mendalam) karena mempertanyakan makna suatu objek secara mendalam dan tuntas. Penelitian kualitatif disebut participant-observation karena peneliti itu sendiri yang harus menjadi instrumen utama dalam pengumpulan data dengan cara mengobservasi langsung objek yang ditelitinya (Irawan, 2006:4).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif untuk menjelaskan fenomena school bullying yang kerap terjadi di kalangan pelajar SMAN 70 Jakarta Selatan. Peneliti berupaya untuk mengetahui dan menjelaskan tentang penyebab terjadinya school bullying di kalangan pelajar SMAN 70 Jakarta Selatan. Selain itu, peneliti juga ingin mengetahui upaya apa sajakah yang telah dilakukan dalam mengatasi masalah school bullying di kalangan pelajar SMAN 70 Jakarta Selatan. Serta program pencegahan kenakalan yang digunakan untuk menanggulangi school bullying. Peneliti berfokus melihat pada bagaimana seharusnya program pencegahan kenakalan yang tepat untuk menanggulangi school bullying di kalangan pelajar SMAN 70 Jakarta Selatan.


2.      Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Metode penelitian deskriptif bertujuan untuk mengidentifikasi dan menggambarkan fenomena yang terjadi dalam masyarakat kemudian menganalisa fenomena tersebut secara jelas. Pada penelitian deskriptif memusatkan perhatian kepada fakta (fact finding) sebagaimana keadaan yang sebenarnya.
3.      Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan suatu cara yang dilakukan oleh peneliti untuk mendapatkan data ataupun informasi yang berguna dan valid untuk menjelaskan permasalahan yang diteliti.
3.1.   Teknik Wawancara Mendalam
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam.Teknik wawancara merupakan salah satu cara pengumpulan data dalam suatu penelitian. Karena menyangkut data, maka wawancara merupakan salah satu elemen penting dalam proses penelitian (Musta’in Mashud, 2005:69)[20]. Teknik wawancara adalah suatu cara yang digunakan oleh peneliti untuk mendapatkan informasi maupun pendirian secara lisan dari informan, dengan wawancara berhadapan muka (face to face) antara pewawancara dan informan. Dengan tujuan untuk memperoleh data yang dapat menjelaskan dan atau menjawab suatu permasalahan penelitian. Sedangkan yang dimaksud dengan teknik wawancara tidak berstruktur adalah wawancara yang dilakukan berdasarkan pada suatu pedoman atau catatan yang hanya berisi butir-butir atau pokok-pokok pemikiran mengenai hal yang akan ditanyakan pada waktu wawancara berlangsung. Dalam teknik wawancara tersebut pewawancara mempunyai kebebasan dalam bagaimana merumuskan dan menanyakan butir-butir atau pokok-pokok yang tertera dalam pedoman wawancara kepada informan. Pewawancara dengan leluasa menanyakan berbagai pertanyaan yang biasanya disertai dengan probing, dengan tujuan untuk memperkaya info yang dibutuhkan (Malo, 1986:378). Untuk dapat menjelaskan permasalahan terkait dengan school bullying di kalangan pelajar, maka dalam penelitian ini, peneliti melakukan wawancara ke berbagai pihak terkait.

3.2.   Studi Literatur
Studi literatur merupakan teknik pengumpulan data dari dokumen peristiwa yang telah berlalu. Dokumen dapat berbentuk buku, jurnal ilmiah, karya ilmiah (skripsi, tesis, disertasi), peraturan perundang-undangan, laporan penelitian, laporan media massa (elektronik dan cetak, termasuk internet). Peneliti berupaya untuk mengkaji berbagai buku yang membahas terkait tawuran, identitas sosial, kohesi sosial, dan strategi pencegahan school bullying dari berbagai disiplin ilmu seperti kriminologi, hukum, sosiologi, psikologi, penologi, dan sebagainya.
3.3.   Teknik Analisis Data
Dalam pengolahan data kualitatif, peneliti memaparkan gambaran dan keadaan yang sebenarnya tentang penyebab terjadinya school bullying, pengaruhnya bagi pelajar sekolah, dan strategi pencegahan school bullying yang tepat di kawasan tersebut agar dapat menunjukkan bahwa fenomena tersebut merupakan hal yang sangat serius dan menimbulkanrasa takut akan ancaman bagi siswa SMAN 70 Jakarta Selatan. Selanjutnya pemaparan tersebut memunculkan alternatif sebagai solusi dari permasalahan yang diajukan.
4.      Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini bertempat di SMAN 70 Jakarta Selatan, Jalan Bulungan Blok C Nomor 1, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan,DKI Jakarta.
5.      Waktu Penelitian
Waktu penelitian yang dilakukan dalam penelitian kami, yaitu 3 minggu. Dengan rincian sebagai berikut:
Minggu ke-1: Pembuatan teknis penelitian dan mencari informan
Minggu ke-2: Wawancara dengan informan
Minggu ke-3: Memasukan data yang telah di dapat seta menganalisisnya.

6.      Hambatan Penelitian
Kami juga memiliki hambatan dalam melakukan penelitian, diantaranya adalah keterbatasan informan dalam memberikan informasi kepada tim peneliti.
BAB IV
Temuan Data Lapangan

1.      Gambaran Umum
1.1.   Tempat Penelitian
1.1.1.                  Sejarah
SMA ini adalah gabungan dua SMA Negeri bertetangga, yaitu SMA Negeri X dan SMA Negeri XI yang masing-masing berdiri tahun 1959 dan 1960. Kedua sekolah ini bergabung pada 5 Oktober 1981.
1.1.2.                  Siswa, Guru dan Kepala Sekolah
1.1.2.1.                        Jumlah Siswa
Jumlah siswa pada tahun 2010/2011 adalah 1141 siswa
1.1.2.2.                        Jumlah Guru
Jumlah guru sebanyak 183 orang guru
1.1.2.3.                        Jumlah Kepala Sekolah
No.
Nama
Mulai menjabat
Selesai menjabat
1
Drs. Darmadi
3 Oktober 1982
6 Oktober 1985
2
Drs. Joelioes Joesoef
7 Oktober 1985
6 November 1992
3
Drs. Asrul Chatib
7 November 1992
24 Oktober 1996
4
Drs. H. Syaridin Zas
25 Oktober 1996
31 Juli 2000
5
Drs. Suyanto, M.M.
1 Agustus 2000
18 Maret 2004
6
Drs. Djumadi, M.Pd.
19 Maret 2004
15 Februari 2005
7
Drs. Asyikin
16 Februari 2005
14 Januari 2008
8
Drs. H. Pono Fadlullah, M.Hum.
14 Januari 2008
25 Januari 2010
9
Drs. Pernon Akbar, M.Psi.T
26 Januari 2010
12 Januari 2011
10
Drs. H. Sudirman Bur
12 Januari 2011
2011
11
Drs. Saksono Liliek Susanto, M.Pd.
2011
Sekarang

1.1.3.                  Kurikulum
SMA Negeri X Jakarta menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
1.1.4.                  Fasilitas
Fasilitas SMA Negeri X Jakarta antara lain sebagai berikut:
·         Bangunan gedung dengan 40 kelas ber-AC dan dilengkapi dengan hotspot
·         Masjid
·         Laboratorium (fisika, kimia, biologi, virtual lab, komputer, IPS, dan bahasa)
·         Rumah kaca
·         Ruang multimedia
·         Ruang audiovisual
·         Perpustakaan
·         Studio musik
·         Ruang relaksasi
·         Ruang UKS
·         Ruang kegiatan ekstra kurikuler
·         Koperasi
·         Kantin
·         Taman
·         Tempat parkir
1.1.5.                  Prestasi
·         Tahun 1994, menjadi SMAN Plus tingkat Kotamadya Jakarta Selatan
·         Tahun ajaran 2001-2002, membuka Layanan Program Percepatan Belajar (kelas akselerasi).
·         Tahun 2003, menjadi SMAN Plus Tingkat Provinsi DKI Jakarta.
·         Tahun ajaran 2003-2004, membuka Layanan Program Sertifikasi Internasional A/AS Level yang mengacu pada University of Cambridge International Examination (kelas internasional).
·         Tahun 2004, menjadi SMAN Plus Standar Nasional.
·         Tahun ajaran 2006-2007, ditetapkan sebagai salah satu Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI).
·         Bulan Januari 2007, menjadi Cambridge International Examination Test Centre dengan ID 074 yang dapat menyelenggarakan ujian sertifikasi IGCSE dan A/AS Level.
1.1.6.                  Kegiatan Ekstrakurikuler
·         Band X, bergerak di bidang seni musik band
·         Basket X, bergerak di bidang olahraga bola basket
·         Bulungan Art Club (BAC) X, bergerak di bidang seni lukis
·         Bulungan Boxing Camp (BBC) X, bergerak di bidang olahraga tinju
·         Bulungan Football Club (BFC) X, bergerak di bidang olahraga sepak bola
·         Bulungan Seventy Volleyball (Bulsev), bergerak di bidang olahraga bola voli
·         Espresso De Ritmo X, bergerak di bidang seni musik paduan suara
·         Ju-Jitsu Bulungan, bergerak di bidang olahraga jujitsu
·         Karatedo X, bergerak di bidang olahraga karate
·         Lentera X, bergerak di bidang jurnalistik
·         Palang Merah Remaja (PMR) X, bergerak di bidang kesehatan PMR
·         Persada Karya Cipta (PKC) X, bergerak di bidang seni tari modern (modern dance) dan pemandu sorak
·         Pustaka Dokumentasi (Pusdok) X, bergerak di bidang fotografi
·         Rohani Islam (Rohis) X, bergerak di bidang kerohanian agama Islam
·         Rohani Kristen (Rohkris) X, bergerak di bidang kerohanian agama Kristen dan Katolik
·         Seksi Karya Ilmiah Remaja (SKIR) X, bergerak di bidang ilmu pengetahuan
·         Sisgahana X, bergerak di bidang pencinta alam
·         Softball-Baseball X, bergerak di bidang olahraga sofbol dan bisbol
·         Taekwondo X, bergerak di bidang olahraga taekwondo
·         Tapak Suci (TS) X, bergerak di bidang olahraga pencak silat perguruan Tapak Suci
·         Tata Laksana Upacara (TLUP) X, bergerak di bidang pelaksanaan upacara dan pengibaran bendera (paskibra)
·         Teater X, bergerak di bidang seni teater
·         Trads X, bergerak di bidang seni tari tradisional
·         Vocal Group (VG) X, bergerak di bidang seni musik kelompok vokal (vocal group)
1.2.   Lokasi Penelitian
Jalan Bulungan Blok C Nomor 1, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan,DKI Jakarta.
1.3.   Objek Penelitian
School bullying di SMAN 70 Jakarta Selatan
1.4.   Umur Informan
Umur informan ke-1        : 17 Tahun      
Umur informan ke-2        : 17 Tahun
Umur informan ke-3        : 18 Tahun
1.5.   Latar Belakang Informan
Informan 1
Tanggal lahir        : 16 Desember 1994
Alamat Rumah     : Komplek Tanjung Mas, Tanjung Barat, Jakarta Selatan
Anak ke               : 2 dari 3 bersaudara
Informan 2
Tanggal lahir         : Bandung, 21 November 1994
Alamat Rumah     : Lebak Bulus, Bona Indah, Jakarta Selatan.
Anak ke               : 2 dari 3 bersaudara
Informan 3
Tanggal lahir        : Jakarta, 18 Februari 1994
Alamat Rumah     : Kebon Kacang Nomor 41, Jakarta Pusat
Anak ke               : 2 dari 3 bersaudara

BAB V
Analisis

1.     Pengaruh Lingkungan Terhadap Perilaku School Bullying di SMAN 70 Jakarta Selatan
Sebenarnya Studi kusus mengenai kenakalan atau bullying, memiliki fokus pada individu, kelompok dan struktur sosial.[21] Pada perkembangannya school bullying di kalangan pelajar merupakan suatu hal yang sudah dianggap wajar keberadaanya. Hal ini dikarenakan school bullying dapat dikatakan sebagai alat tersendiri bagi pelajar dalam memperoleh satu ciri khas. Kewajaran ini merembet kepada intensitas terjadinya school bullying di kalangan pelajar. Sejalan dengan itu kerugian yang didapat sangatlah beragam dan cenderung mengarah ke fisik. Sebab school bullying yang biasa dilakukan adalah kekerasan secara fisik, seperti pemukulan, penendangan, penamparan dan hal-hal lainnya yang mengarah kepada tindakan psikis. Hal tersebut sesuai dengan pengakuan informan, yaitu:
“Gue pernah di gampar, terus di tonjok senior”.
Jika melihat pengakuan tersebut, jelas terlihat bahwa senior memiliki hak otoritas yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan senior dianggap seseorang yang lebih mengerti dan berkuasa di sekolah tersebut.  Sehingga para junior, baik itu satu tahun dibawah dan  siswa baru, harus mengikuti aturan yang berlaku. Sebab proses ini merupakan satu tindakan yang dianggap suatu hal yang lumrah terjadi. Aturan ini memberikan kewenangan lebih terhadap senior dalam melakukan tindakan di lingkup sekolah. 
“Gue takut banget sama senior pas jadi junior”.
Berdasarkan data yang diperoleh, biasanya school bullying yang terjadi di SMAN 70 Jakarta Selatan  yaitu saat masa orientasi siswa (MOS). Hal ini merupakan keharusan bagi murid baru untuk mengikuti mos. Karena masa orientasi ini merupakan langkah dalam proses penginternalisasian diri. Proses ini mengacu kepada  bagaimana seorang senior menandakan kekuasaan mereka di lingkungan sekolah tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan kekuasaan yang menghasilkan kehormatan tersendiri bagi senior di lingkungan sekolah tersebut.
Biasa aja pas mos (formalitas) sama guru. Setelah itu di kumpulin di suruh nongkrong karena  di paksa sama senior, abis itu di suruh ribut sama sekolah lain.
Sejalan dengan itu, tindakan saat menjadi senior memberikan sebuah kacamata lain dari proses school bullying di SMAN 70 Jakarta Selatan. Berdasarkan wawancara yang dilakukan, senior menganggap bahwa siswa baru adalah tanggung jawab mereka. Hal ini dikarenakan mereka merasa terpanggil untuk mendidik murid baru untuk mengikuti aturan yang berlaku serta melestarikannya. Sehingga aktivitas di lingkungan sekolah tersebut tidak terkikis.
Pada prinsipnya lingkungan di SMAN 70 Jakarta Selatan memiliki pengaruh besar dalam proses perkembangan siswa. Hal ini dikarenakan lingkungan menjadi satu tempat internalisasi diri bagi siswa untuk mengidentifikasi diri. Selain itu, siswa juga lebih banyak berinteraksi ke luar daripada ke dalam. Sehingga mengakibatkan lingkungan menjadi tempat pembelajaran yang paling diminati bagi siswa.
Mengacu kepada teori konvergensi yang dikemukan oleh William Stern, dikemukakan bahwa perkembangan individu tidak hanya dipengaruhi oleh faktor bawaan saja, tetapi faktor lingkungan juga ikut berpengaruh. Sehingga manusia perlu berinteraksi dengan lingkungan sekitar.[22] Dapat dilihat sebuah titik temu dimana siswa lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungan dalam proses perkembangannya.
Lebih dari itu, school bullying yang terjadi di SMAN 70 Jakarta Selatan dianggap sebagai sesuatu yang perlu ditransmisi, karena mereka menganggap perilaku school bullying merupakan bagian penting dalam proses perkembangan diri di lingkungan sekolah tersebut.
Sepaham dengan itu, Shawn dan Mc Kay mengemukakan sebuah teori yang berpendapat bahwa kenakalan perlu di transmisi karena pengaruh gaya hidup dan  mendapatkan status merupakan hal yang penting. Teori ini dinamakan sebagai Cultural Transmission Theory. [23] Melihat teori transmisi kebudayaan sangatlah jelas jika dikaitkan dengan School Bullying di SMAN 70 Jakarta Selatan, karena perilaku school bullying di sekolah tersebut lebih kepada bagaimana mereka mendapatkan pengakuan dari orang lain.
2.      Pengaruh Lingkungan Dalam Pencapaian Status Lewat Perilaku School Bullying Siswa di SMAN 70 Jakarta Selatan
Pencarian status di ruang lingkup sekolah merupakan sebuah hal yang penting di dalam praktiknya. Hal ini dikarenakan, status di dalam satu lingkup sekolah adalah salah satu gambaran diri yang penting. Gambaran diri ini memberikan sebuah kehormatan tersendiri bagi individu atau anak di dalam peer sekolahnya. Lebih dari itu, gambaran ini mencerminkan kepentingan tersendiri bagi anak dalam melakukan sesuatu.
Pencapaiaan status ini di SMAN 70 Jakarta Selatan di dapat setelah melalui proses panjang dari school bullying, baik menjadi korban ataupun menjadi pelaku. Perilaku school bullying ini memberikan sebuah jalan yang lebar untuk mendapatkan status tersendiri bagi anak. Hal ini ditujukkan dari beragam status yang dimiliki di SMAN 70 Jakarta Selatan. Berdasarkan data dari informan, di SMAN 70 Jakarta Selatan kelas satu (10) dianggap bukan manusia, kelas dua (11) adalah manusia dan kelas tiga (12) merupakan setengah dewa. Selain itu informan juga mengungkapkan hal lain, yaitu:
ngerasa pas kelas satu hina.
Perasaan ini muncul dari strata yang diterapkan di SMAN 70 Jakarta Selatan. Di saat kelas satu mereka juga seakan menjadi budak, karena tugas mereka melayani kelas tiga, yaitu dengan mengikuti apa yang kelas tiga katakan. Lebih dari itu, berdasarkan informan, kelas tiga dalam hal ini sering meminta uang (kolekan) kepada junior yang akhirnya mereka gunakan untuk bersenang-senang. Namun, dalam perilaku lainnya yang paling menonjol adalah proses school bullying. Hal ini dikarenakan bullying dianggap sudah menjadi budaya.
Cohen dengan teori subkebudayaan delinkuennya menjelaskan bahwa perilaku kenakalan dilakukan oleh anak-anak yang berkelompok dengan teman-temannya. Kenakalan ini salah satunya adalah bullying, yang menurut Cohen sebuah tindakan yang tidak memiliki asas atau tujuan yang jelas.[24]  Selain itu perilaku intimidasi sering terjadi tanpa penyebab yang tidak jelas dan tindakan negative dapat dilakukan dengan cara melakukan kontak fisik, dengan kata-kata, atau dengan cara lain seperti membuat raut wajah atau geraktubuh sebagai sebuah isyarat, dan pengucilan dari kelompok. (Farrington, 1993; Smith & Sharp, 1994).[25] Jika mengacu pada informan tentang school bullying di SMAN 70 Jakarta Selatan, sebenarnya mereka berpendapat bahwa perilaku school bullying yang mereka lakukan untuk pembelajaran junior kedepan dalam menghadapi masalah kedepan. Namun jika mengacu pada teori Cohen, hal seperti itu merupakan sesuatu yang dianggap tidak bisa dipertanggungjawabkan dasar serta tujuannya.
Dalam praktiknya, school bullying di SMAN 70 Jakarta Selatan dianggap sebuah kebanggan tersendiri. Karena mereka melakukan perilaku school bullying atas nama solidaritas. Solidaritas ini menurut informan merupakan sebuah doktrin yang wajib diberikan sebelum melakukan perilaku school bullying. Sehingga pada praktiknya senior dapat leluasa melakukan school bullying terhadap juniornya. Berdasarkan pengakuan dari informan saat ia menjadi junior dan senior, perilaku school bullying yang dilakukan senior mengakibatkan salah seorang murid dirawat di rumah sakit.
Tindakan lainnya yang tak kalah mencengangkan adalah tawuran antar sekolah yang menjadi sesuatu simbolik. Menurut pengakuan informan, murid laki-laki diwajibkan untuk ikut serta dalam tawuran antara pelajar. Hal ini terus dilakukan oleh pelajar karena masih dianggap satu bentuk solidaritas. Padahal berdasarkan pengakuan informan, dia sendiri pernah terkena gear(gerigi) di badannnya.
Lebih dari itu, melihat dari intensitas school bullying yang terlampau sering dan terkesan pemaksaan ini dapat tergambar bahwa kehidupan di SMAN 70 Jakarta Selatan membutuhkan satu pengakuan tersendiri untuk setiap individu anak. Karena pendapatan suatu status dinilai penting dan menjamin kelangsung dalam peer di SMAN 70 Jakarta Selatan. Perilaku school bullying ini dapat mencerminkan gambaran individu di dalam satu peer di sekolah tersebut. Hal ini diakibatkan proses pembelajaran atau internalisasi diri dari lingkungan dan peer.
Secara garis besar kekerasan di sekolah benar-benar dihasilkan oleh kekerasan dalam masyarakat dan bahwa kebijakan pendidikan dapat berdampak kecil terhadap tingkat kekerasan sekolah. Telah umumnya dianggap bahwa tingkat kekerasan di sekolah dan kenakalan remaja lainnya adalah cerminan dari tingkat kejahatan di masyarakat (Elliot, Hamburg, & Williams, 1998; Lawrence, 1998).[26] Selain itu School bullying diakui sebagai fenomena global yang mempengaruhi salah satu inti pemikiran masyarakat modern yang sebagian besar mengenai kekerasan.[27]

BAB VI
Penutup
1.      Kesimpulan
Pada prinsipnya school bullying merupakan sebuah perilaku yang sudah menjadi satu bentuk fenomena tersendiri di dalam kalangan pelajar, terutama di SMAN 70 Jakarta Selatan. Hal ini berkaitan dengan perilaku school bullying yang di internalisasi oleh pelajar di SMAN 70 Jakarta Selatan untuk mendapatkan gambaran diri di peer sekolah tersebut. Gambaran diri ini digunakan untuk mencirikan bagaimana individu anak dalam berinteraksi dengan teman peer-nya. Proses penginternalisasian ini merupakan bentuk dari pembelajaran indvidu anak dalam lingkungannya. Sehingga, lingkungan di identifikasikan menjadi satu tempat yang dianggap penting dalam proses penggambaran diri individu anak di SMAN 70 Jakarta Selatan.
2.      Rekomendasi
Secara pasti, kami sebagai tim peneliti pastinya memiliki kerisauan yang begitu mendalam terhadap school bullying yang diakui menjadi budaya di kalangan pelajar, khususnya SMAN 70 Jakarta Selatan. Oleh karena itu, kami memberikan rekomendasi untuk menanggulangi perilaku school bullying di sekolah tersebut, diantaranya yaitu:
1.      Tindakan internal sekolah dalam merespon perilaku school bullying.
2.      Pengawasan keluarga terhadap tindakan individu anak yang menyangkut kehidupan bersosialisasinya dengan teman sebayanya di kehidupan sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Copes, H., Topalli, V., (2009).  Criminological Theory. New York : McGraw-Hill.
Shaw, C.R., dan H. McKay. (1942), Juvennile Delinquency and Urban Areas. Chicago: University of Chicago Press.
Suyanto, Bagong. (2005). Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan, Kencana, Jakarta.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Cohen, A.K. (1995a) Juvennile Delinquency and the Social Structure, Ph.D. Thesis. Harvard University.
Jurnal
Akiba, Motoko, (2002). Student Victimization: National and School System Effects on School Violence in 37 Nations. Amerika: American Educational Research Association
Beran, Tanya and Shapiro., Bonnie, (2005). Evaluation of an Anti-Bullying Program: Student Reports of Knowledge and Confidence toManage Bullying. Canadian Society for the Study of Education.
Farrington, David, P. Understanding and Preventing School bullying. The University of Chicago Press. 1993
Jurnal Psikologi Sosial 12 ((01), 2005 : 1-13)
Ma, Xin,. (2001). Bullying and Being Bullied: To What Extent Are Bullies Also Victims?. Amerika: American Educational Research Association
SEJIWA
Smith, K. Peter, dkk,. (2002). Definitions of Bullying: A Comparison of Terms Used, and Age and Gender Differences, in a Fourteen-Country International Comparison. Blackwell Publishing.
Website
www.detiknews.com
http://edukasi.kompas.com/read/2011/10/27/14524275/.Bullying.di.SMA.X.Jakarta.Bukan.Aksi.Spontan
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/aktualisasi_diri/bab2proses_perkembangan_manusia.pdf
http://psma.kemdiknas.go.id/home/data/rekap_nasional_data_identitas_b5.pdf
www.komnaspa.or.id
www.sman70jkt.sch.id


LAMPIRAN
Pedoman Wawancara
1.      Apa yang menyebabkan informan melakukan school bullying?
2.      Bagaimanakah faktor lingkungan mempengaruhi informan melakukan school bullying?
3.      Bagaimana faktor lingkungan menyebabkan informan mendapatkan status lewat school bullying?
Transkrip Wawancara
Informan 1
Tim Peniliti
Informan
Lo tinggal dengan siapa?
Tinggal bareng nyokap bokap di Tanjung Mas Raya
Anak ke berapa?
Anak ke 2 dari 3 bersaudara.
Sifat bokap lo bagaimana?
Bokap sih santai gak santai, hehehe.. kalo nyokap protektif banget. Hehe..
Pernah gak lo mengalami trauma saat masa kecil?
Dulu gue pernah dipukulin bokap karena mukulin temen di rumah. Hehehe…
Mengapa pilih SMAN 70 Jakarta Selatan?
Di suruh nyokap, gue sih ngikut aja.
Pernah ikut mos atau enggak?
Pernah
Takut gak sama senior?
Gue takut banget sama senior pas jadi junior
Kenapa takut?
Takut dipukulin kalo punya masalah. Hehe…
Saat Mos, apa yang dilakukan senior ke lo?
Biasa aja pas mos formalitas gitu sama guru. Setelah itu di kumpulin di suruh nongkrong karena  di paksa sama senior, abis itu di suruh ribut sama sekolah lain.
Bagaimana perasaan lo saat jadi junior?
Ngerasa pas kelas satu hina
Apa pengaruh kejadian saat MOS dengan kehidupan di sekolah lo?
Dendam sama yang ngegampar gue. Hehe..
Apa perasaan lo saat jadi senior?
Seneng banget. Hehe… Merasa berkuasa.
Apa yang dilakukan lo ke junior saat jadi senior?
Pernah ngegampar
Apakah lo ngerasa bersalah saat melakukan itu?
Gak merasah bersalah, karena gue merasa itu bagian dari pendidikan. Hehe..
Bagaimana reaksi junior lo setelah kejadian itu?
Reakasinya shock tapi mulai ada doktrin masuk, solidaritas. Setalah 3 kali di bilangin baru di gampar

Pernah ketahuan gak?
Selama ngebully gak pernah ketauan. Hehe..
Apa dasar lo melakukan bullying?
Ngelakuin perbuatan salah terus karena atas nama solidaritas
Punya nama angkatan?
Punya. Namanya Detasmen
Lo pernah tawuran gak?
Iya
Pernah ketangkap polisi gak?
Pernah ketangkep polisi di suruh jalan jongkok
Pernah kena apa aja?
Pernah kena gear sempat berfikir gak mau tawuran lagi tapi kebawa suasana jadi mau tawuran lagi
Pernah kalah tawuran?
Pernah
Apa reaksi lo saat jadi senior?
Gue marah banget
Ada kejadian yang parah saat lo ngebully junior?
Angakatan gua pernah nge bully junior gua pernah sampai ada yang masuk rumah sakit gara gara ada kejadian
Kalo pas lo jadi junior?
Angaktan gua pernah ada yang sampai di opname
Gimana caranya kalo ada temen lo yang gak solid?
Ada orang yang gak solidaritas biasanya di omongin gak sampai  di pukulin
Bagaimana budaya bullying di sekolah lo tetap ada?
Diwarisin

INFORMAN 2
Tinggal di mana?
lebak bulus bona indah dan sama orang tua
Anak keberapa sih lu?
Anak ke dua dari tiga bersaudara
Kenapa sih milih sma 70 ?
Ehhm, beda aja sama sekolah yang lain
Apa bedanya?
Tau
Tau gak sih tradisi bullying di 70?
Sebenarnya parah sih, tapi apa namanya bukan anak sekolah banget Cuma seru aja
Menurut lu gimana sih?
Takut ngeri
Serunya kayak gimana sih?
Yaa apa, ya kan setiap junior ke seniornya kan takut, sangar-sangar seniornnya
Pas kelas satu lu takut sama senior gak sih?
Pas nongkrong di apain aja? Nongkrong yang ngobrol-ngobrol, ngerokok, ya biasa lah
Pas nongkrong pernah di bully gak?
Gak kok gak pernah
Pas kelas satu lu pernah di apain aja?
Di kolekin, terus di rejes haha
Rejes itu di apain sih?
Di jejerin terus di gamparin
Lu paling parah di apaain sih?
Hmm, paling parah ya gua di gampar sihm, terus pernah sekali pas perkenalan utas yang titit gua di tending
Di tendang gara gara apa?
Emang lagi sesi di gamparin aja
Pas lu di  tendang ada guru yang tau gak?
Gak ada yang tau
Biasanya lu di bully di mana aja sih?
Di mana aja sih sebenarnya, disini sih si mendawai juga pernah
Lu kalo nongkrong dimana?
Kalo kelas satu di mendawai
Itu tongkrongannya beda beda kalo kelas satu kelas dua?
Beda beda kalo kelas dua digor, kelas tiga di lamandau sama halte
Di dalam sekolah juga pernah ada yang di bully gak?
Di dalam sekolah juga, di kelas, dikantin, di toilet sebenarnya dimana mana sih kelas satu itu
Guru gak ada yang tau?
Mungkn guru beberapa ada yang tau tapi gak ngelakuin apa apa
Lu ngerasa gak lingkungan berpengaruh sama tingkah laku lu yang sekarang?
Berpengaruh banget
Lu tau bullying dari mana?
Gua tau dari berita dan saudara gua ada di sini juga
Lu pernah mau gak ikut ikutan sama hal kyk gini?
Kalo gak ikut ikutan pas di gampar gua sih mau, tapi kalo nongkrong nggak, nongkrong nongkrong aja
Pengaruh bullying lu berpengaruh dari lingkungan juga gak, jadi gara gara lu di pukulin di tendangin lu pengen ngebales gak?
Heem kalo pas waktu itu sih pengen gua ngebales tapi habis itu mikir kan udah beda jaman juga pas gua jadi agit gua gak ngebales
Bedanya sama anak anak yang gak ikut nongkrong?
Bedanya ada gap aja antara yang ikut nongkrong apa nggak
Lu ngerasa bangga gak pas ngelakuin bullying?
Gak biasa aja
Lu paling parah ngelakuin apa aja ke junior lu?
Ngegampar doang gua mah
Ngerasa bersalah gak pas ngelakuin itu?
Ngerasa, habis sesi itu gua minta maaf
Pas lu di bullying lu ngerasa dendam gak sama senior lu?
Kalo di bullyingnya tanpa sebab sih dendam gua, kayak misalnya tiba tiba di suruh jongkok terus di tendang

INFORMAN 3
Anak ke berapa lu?
Anak ke 2 dari 3
Kenapa memilih sma 70?
Gara gara orang tua dan saudara gua alumni sini
Lu tau gak ada tradisi bullying?
Gak tau gua
Pas kelas satu kehidupan di sekolah lu gimana
Awal awalnya takut, pulang sekolah langsung pulang, tapi lama lama ngebaur juga
Yang membuat lu nongkrong kenapa?
Gara gara temen sekelas, kelas tiga, dan saudara gua katanya nongkrong aja gpp
Dendam gak lu sama senior?
Di gampar, di sundut di kaki sama pantat
Setelah kejadian itu lu ngeliat senior gimana?
Gua gak tau siapa  yang nyundut, jadi keadaanya merem dan di suruh jongkok gak boleh ada yang berdiri gara gara di tendang gua otomatis kan berdiri terus gua kena di gampar, di tendang
Ada perasaan pengen ngebales gak sih di luar sekolah? 
Gua takut, nunduk kalo ngeliat senior
Pernah kepikiran ngelapor guru gak sehabis lu di bully?
Gak pernah, gak guna juga lapor ke guru
Kenapa emang?
Ya gua liat kedepannya mau jadi apa 70 kalo gua lapor ke guru
Tapi pernah gak sih ada temen lu yang ngelapor ke guru terus di tindak keras sama guru?
Pernah, cewe paling
Tindakan guru terus gimana?
Ya manggil oknum oknum tersebut terus di tindak deh
Tempat lu di bully dimana sih emang?
Di lamandau
Tempatnya kyk gimana sih?
Gelap sama sepi
Di bullynya kapan sih?
Kalau malem di lamandau, kalo siang biasanya di rejes di mendawai, ke gor di bawa keg or
Lu jadi senior udah ngelakuin apa aja ke junior lu?
Gua kalo main tangan jarang, kalo ada event event tertentu aja sih, misalnya kayak dia punya salah ya gua pukul. Tapi ya juga gua tau bagai mana dulu rasanya di pukul jadi ada rasa kasihan juga sih makanya gua meminimalisir pukulan gua sih gak separah gua pas waktu dulu
Terus apa lagi yang lu lakuin?
Gua ngedoktrin anak kelas satu, jadi perintah gua bakal jadi tanggung jawab dia untuk di lakuin
Contohnya?
Nongkrong, tubir
Lu ngerasa bersalah gak pas ngelakuin bullying?
Gua ngelakuin itu juga pakai alas an kan dan gua ngelakuin itu niat gua gak buruk buruk banget
Ketika lu nongkrong lu ngapain apa selain ngerokok, contohnya kyk nyimeng gitu ada gak?
Gak ada
Lu ngerasa keren gak pas ngelakuin bullying?
Gua ngelakuin itu juga pakai alas an kan dan gua ngelakuin itu niat gua gak buruk buruk banget
Pernah ketangkep guru gak pas lu ngelakuin bullying?
Gak pas kelas tiga gua gak pernah, tapi kelas satu gua pernah tapi pas jadi korban
Lu tau gak apa yang di lakukan guru pas senior lu ketangkep basah ngelakuin bullying?
Ngasih point paling kalo udah lebih dari 50 nanti di skorsing
Guru pernah gak menghukum dengan cara fisik juga?
Pernah pas sehabis tawuran di bubar bubarin padahal kita yang di serang kalo di lihat itu bukan salah kita kan, kita kan di serang ya bela diri tapi malah gurunya nendang nendang, cekek-cekek buat ngusir
Guru berperan gak sih buat mencegah tawruran?
Gak pernah kalo tawuran tapi kalo anak kelas satu yang nongkrong nongkrong sering di usir usirin kan cikal bakal juga kan kelas satu yag bakal ngelanjutin gitu jadi fokusnya di kelas satu
Tarus pas di usir lu gimana?
Ya diem aja kalo gurunya udah marah ya pergi tapi nanti balik lagi ke tongkrongan
Orang tua lu tau gak sih lu kalo lu tawuran dan ngelakuin bullying?
Tau
Orang tua lu pernah di panggil gak gara gara hal itu?
Pernah
Dan kasih advice apa?
Jadi pas gua mau di rejes gua bilang, tapi orang tua gua gak bakal ngelapor ke guru, ibaratnya orang tua gua udah terbuka asal gua nya gak terlalu kenapa kenapa










[1] http://psma.kemdiknas.go.id/home/data/rekap_nasional_data_identitas_b5.pdf
[2] www.komnaspa.or.id
[3] www.detiknews.com
[4] SEJIWA
[5] Farrington, David, P. Understanding and Preventing School bullying. The University of Chicago Press. 1993
[6] http://edukasi.kompas.com/read/2011/10/27/14524275/.Bullying.di.SMA.X.Jakarta.Bukan.Aksi.Spontan
[7] Copes, H., Topalli, V., 2009.  Criminological Theory. New York : McGraw-Hill.
[8] Smith,. K. Peter, dkk, 2002. Definitions of Bullying: A Comparison of Terms Used, and Age and Gender Differences, in a Fourteen-Country International Comparison. Blackwell Publishing.
[9] Beran., Tanya and Shapiro., Bonnie, 2005. Evaluation of an Anti-Bullying Program: Student Reports of Knowledge and Confidence toManage Bullying. Canadian Society for the Study of Education Stable.
[10] Farrington, David, P. Loc. Cit.
[11] Ma,. Xin, 2001. Bullying and Being Bullied: To What Extent Are Bullies Also Victims?. Amerika: American Educational Research Association
[12]  Akiba, Motoko, 2002. Student Victimization: National and School System Effects on School Violence in 37 Nations. Amerika: American Educational Research Association
[13] http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/aktualisasi_diri/bab2-proses_perkembangan_manusia.pdf
[14] Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
[15]            
[16] Jurnal Psikologi Sosial 12 (01), 2005 : 1-13)
[17] Copes, H., Topalli. Loc. Cit.
[18] Cohen, A.K. (1995a) Juvennile Delinquency and the Social Structure, Ph.D. Thesis. Harvard University.
[19] Shaw, C.R., dan H. McKay. (1942), Juvennile Delinquency and Urban Areas. Chicago: University of Chicago Press.
[20] Suyanto, Bagong. (2005). Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan, Kencana, Jakarta.
[21] Akiba, Motoko. Loc. Cit.
[22]http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/aktualisasi_diri/bab2proses_perkembangan_manusia.pdf
[23] Shaw, C.R., dan H. McKay. Loc. Cit.
[24] Cohen, A.K. Loc. Cit.
[25] Smith,. K. Peter, dkk. Loc. Cit.
[26] Akiba, Motoko. Loc. Cit.

[27] ibid

Open Panel

Label

Blogroll

Labels