PAGI itu adalah hari ke tiga dalam bulan Syaban. Masih teringat jelas. Kehangatan dengan pancaran sinar matahari tertitik lembut merangkul seluruh badan. Nek Sukmini adalah seorang wanita tua yang rutin mendaptkan kehangatan sang surya saat pagi hari. Ia pejuang wanita pada zaman kemerdekaan 75 tahun silam. Umurnya hampir mencapai 1 Abad, namun kerja kerasnya mematahkan anggapan bahwa ‘orang tua tak bisa bekerja’. Seperti biasa, wanita tua itu bekerja bercocok tanam kacang tanah di daerah lereng pegunungan salak yang tepat berada 50 meter dari rumahnya.
“Nek, bade ke ladang nya?”, tanya Ridwan, seorang lelaki muda yang rajin menyapa Nek Sukmini setiap pagi ketika akan berangkat ke ladang.
“Iya, duluan ya”, sahut Sukmini.
“Hati-hati, Nek.” Ucap Rizwan.
“Iya, Nuhun.” Timpal Nek Sukmini.
Sesampainya di ladang, ia bergegas untuk bekerja. Meskipun ia puasa, tak sedikitpun ia mengeluh. Tanda yang diterimanya sebagai pahlawan tidak cukup untuk membiayai hidupnya yang sebatang kara. Suaminya juga seorang pahlawan kemerdekaan, namun ia gugur saat Agresi Militer 2 yang digencarkan oleh Belanda. Dua butir peluru yang tepat mengenai tubuh suaminya, masih tersimpan rapih dan utuh di lemari. Baginya kedua peluru itu merupakan kenangan terkahir yang ia miliki tentang suaminnya.
***
SEHABIS melakukan ibadah sholat isa di rumah, kaki tua renta itu berjalan menuju rumah Allah. Seperti biasa, ia mengajar ngaji kepada anak-anak sekitar. Kerjaan sampingan ini memberikan sebuah ketenangan batin dalam dirinya. Mengisyaratkan kecintaanya pada agama Islam melebihi apapun.
Bibir keriput itu melantunkan ayat-ayat suci nan indah dan merdu. Iramanya memberikan sebuah pancaran sinar kehidupan bagi tiap pendengarnya. Sejuk, dan ketenangan merasuk ke dalam raga dan rohani pendengar. Ketika ia berhenti melantunkan ayat suci, suasana pun menjadi senyap seketika. Wanita tua itu menekan dadanya, seakan ada yang sedang mengganjal di dalam tubuhnya.
“Nek, kenapa ?” Tanya seorang murid.
“Tidak apa-apa, hanya sedikit sesak.”
“Mau saya ambilkan minum, Nek ?”
“Ya.” Jawabnya singkat.
Murid itu bernama Ridwan. Ia seorang anak laki-laki yang sudah lama menjadi pengagum sosok Nek Sukmini. Ridwan sendiri sudah dianggap seperti anak oleh Nek Sukmini. Maklum, Nek Sukmini hidup sebatang kara. Anaknya telah lama meninggal karena sakit kanker hati yang menggerogoti tubuhnya.
***
SIANG itu, Nek Sukmini terpaksa harus cepat pulang dari ladang. Ia kembali ke masjid untuk membantu mempersiapkan tempat penceramah bersama-sama pengurus masjid lainnya. Ust. Abdul Hakim adalah penceramah yang akan memberikan ilmunya untuk para jamaah. Setelah pekerjaanya selesai, ia langsung mencari tempat duduk untuk mendengarkan ceramah.
“Ketika manusia menjadi tua, tak ada yang dapat ia kerjakan lagi selain menjadi hamba Allah yang seutuhnya. Meneruskan perjuangan di saat muda dalam jalan Allah. Jika ada masa tua seseorang yang harus dijalankan dengan kerja keras dan ibadah, maka sesungguhnya ia hamba yang sangat dicintai di hadapan Allah swt.” Papar penceramah.
Setidaknya kalimat itu telah membuat air mata Nek Sukmini jatuh membanjiri pelipis dan raut wajah Nek Sukmini yang keriput. Hatinya bergejolak dalam getaran tangis. Mengiris realita kehidupan yang ia alami saat ini. Seorang diri melawan kenyataan berat dan pilu. Setitik air mata wanita tua itu tak mampu menopang hidupnya yang sangat terasa gelap.
“Saya harus kuat untuk menjalani kehidupan ini, saya percaya akan janji Allah yang benar dan tak akan mengecewakan umatnya yang beriman dan bertakwa.” Ucap Nek Sukmini dalam dirinya.
Setelah mendengar penceramah itu, Nek Sukmini menjadi semangat dalam menjalani kehidupannya. Ia merasa jiwanya yang selama ini tenggelam dalam kesedihan, muncul kembali kedalam batinnya. Semerbak motivasinya memberikan sebersit angin segar kedalam raga rentanya.
Lantunan ayat suci kembali terdengar berirama dari sebuah rumah kecil berdinding bilik usang dan keropos. Harmoni itu menjalar keluar melalui celah bilik wanita tua itu. Tetesan air mata menjadikan sebuah arti yang sangat hikmat bagi Nek Sukmini sendiri.
***
SEORANG pegawai pemerintahan yang berpostur tinggi, rapih dan terlihat seperti orang baik mendatangi rumah Nek Sukmini di siang hari. Ketika itu, Nek Sukmini sedang tidak ada di rumah. Pegawai itu menunggu Nek Sukmini hingga pulang. Sore hari pun menjelang, Nek Sukmini pun pulang dari ladang. Pegawai itu masih di rumah Nek Sukmini dengan paras yang sedikit kecut. Tanpa basa-basi, ia langsung berbicara dengan Nek Sukmini.
“Maaf, ini betul Sukmini ? Pemilik rumah ini ?”
“Ya, betul. Memangnya kenapa ?” jawab Nek Sukmini dengan perasaan takut.
“Saya dari pegawai pemerintahan, saya sengaja di utus kesini untuk memberitahu kepada penghuni rumah ini agar segera meninggalkan dan mengosongkan rumah ini 1 minggu dari sekarang. Kasus tanah ini sengketa dan telah digugat berulang kali oleh penggugat dan tak ada respon dari penghuni rumah ini. Sehingga pengadilan memberikan hak kuasa penuh kepada penggugat.” Tutur pegawai pemerintah itu dengan nada tenang dan seperti sudah terlatih untuk mengucapkannya.
Raut wajah Nek Sukmini kontras dengan nada tenang yang diucapkan pegawai pemerintahan tadi. Kulit tuanya yang masam memperjelas keperihan realita saat ini terhadapnya. Dunia yang ia bangun di dalam rumahnya seakan bergetar hebat akibat goncangan batinnya. Ia tertunduk pilu dan suram menahan air mata di dalam kelopak mata sembabnya.
“Saya kira sudah cukup jelas. Selamat sore!” Seru pegawai itu.
Pegawai pemerintah yang berpenampilan perlente itu melenggang pergi dengan santai dan seperti mengenyek Nek Sukmini dari kejauhan dengan suara pelan. Ya, begitulah anak muda zaman sekarang ini. Tak pernah punya rasa hormat dengan orang tua, menganggap dirinya hebat dalam semua hal.
Sementara itu, Nek Sukmini masih terperanjat sedih dalam relung gelap. Gelap yang menghantarkannya menuju tangisan hati menggores semu. Ingin rasanya ia meronta, melawan sebuah kediktatoran payah ini. Namun rasanya itu akan sia-sia. Ia tak punya cukup tenaga selayaknya zaman kemerdekaan dulu. Ia sadar, ini bukan hanya sekedar penjajahan yang bisa di lawan oleh kekuatan fisik, ini adalah penjajahan moral bangsa oleh bangsa sendiri yang hanya bisa dilawan oleh semangat, hati nurani dan kecerdasan.
***
2 HARI telah berlalu setelah ultimatum dari pegawai perlente itu, Nek Sukmini sama sekali tak beranjak pergi dari rumahnya. Rumahnya di tempeli bacaan, “RUMAH INI DALAM PENGAWASAN PEMERINTAH”. Tentu saja ini satu pukulan telak yang diberikan pemerintah setempat untuk menghargai jasa seorang pahlawan.
Keseharian Nek Sukmini menjadi terganggu pula dengan adanya ultimatum seperti itu. Ia tak pergi ke ladang dan tak juga mengajar ngaji di masjid. Untung saja, tetangganya dengan berbaik hati memberikan settengah makanan yang ia miliki untuk Nek Sukmini. Ia tahu, bahwasanya Nek Sukmini sangat mengharapkan kebaikan hati dari seseorang yang ingin membantunya, karena ia takut kalau ia beraktivitas seperti biasa, rumahnya akan diratakan oleh tanah.
Warga setempat juga sangat antusias untuk membicarakan masalah Nek Sukmini. Maklum, selain ia pahlawan, ia juga seorang wanita tua yang sangat rendah hati dan bersahaja kepada setiap orang. Pertemuan yang dilakukan untuk membicarakan masalah ini tak pernah mendapatkan titik temunya. Ini dikarenakan warga tak punya kemampuan dan semangat yang cukup untuk melawan atau membawa kasus ini ke pengadilan untuk menuntut balik.
“Kita harus bantu Nek Sukmini!” Seru Ridwan dengan lantang dari depan pintu ruang pertemuan.
Seketika suasana terhenyak, lalu terdengar satu, dua suara yang berkata nada setuju. Hingga akhirnya semua berkata setuju untuk membantu Nek Sukmini mendapatkan kembali hak-haknya sebagai Janda Pahlawan dan Pahlawan, termasuk rumah dan tanah ini. Karena rumah dan tanah ini adalah aset yang ia punya satu-satunya hasil pemberian pemerintah kepada pahlawan. Sayangnya semua itu hanya semu, dan akhirnya membuat beban kepada Nek Sukmini yang telah menmpatkan rumah itu berpuluh-puluh tahun lamanya.
Warga yang menyetujui hasil pertemuan, langsung bergegas ke rumah Nek Sukmini. Mereka berniat menanyakan surat tanah yang sah tentang kepemilikan rumah Nek Sukmini. Ini satu-satunya cara untuk mendapatkan kepemilikan rumah Nek Sukmini kembali.
“Nek, apakah nenek masih menyimpan surat-surat rumah ini ?” Tanya Ridwan.
“Surat ? Surat apa?” Jawab Nek Sukmini.
Faktor usia membuat Nek Sukmini menjadi rentan lupa. Ia lupa tentang surat-surat kepemilikan atas tanah dan rumahnya. Ia mencoba kembali mengartikan apa yang dimaksud dengan surat-surat rumah. Semenjak pemberian hak milik tanah 20 tahun silam oleh pemerintah, Nek Sukmini sama sekali tidak pernah tahu-menahu tentang surat-surat rumah.
Warga yang mendengar jawaban Nek Sukmini saat itu sangat heran sekaligus menambah keprihatin mereka. Bagaimana tidak, seorang janda tua yang renta masih saja hidup dengan kemiskinan dan kesengsaraan mendalam. Padahal, dulu dia salah dari pejuang yang membela dan membebaskan bangsa ini dari penjajahan kolonial tak beradab.
***
PENYAKIT yang ada di dalam tubuh Nek Sukmini semakin lama bertambah banyak dan menumpuk. Batuk disertai darah sudah menjadi hal lumrah yang dialami Nek Sukmini setiap hari. Kali ini Nek Sukmini harus berjuang melawan penyakit yang bertambah parah.
“Uhk..uhk.. Kalau memang sudah ajalku, aku rela Kau ambil nyawaku ya Allah. Aku adalah hamba-Mu dan kepada-Mu lah aku kembali, dan biarkanlah aku mati di tanahku ini, di rumah tercinta ku ini. Ak…” do’anya terpotong rintihan air mata sucinya yang jatuh deras.
“Aku rindu suamiku, aku rindu anakku. Hamba tahu, hanya Engkau lah tempat hamba meminta, dan sampaikanlah rinduku ini kepada suami dan anakku di surga. Katakan pada mereka, hamba akan segera menyusul dengan cinta dan kasih.”
Air matanya kembali jatuh tanpa hambatan. Subuh itu menjadi haru dan pilu. Tak sedikitpun terdengar suara dalam keheningan pagi itu. Hanya do’a dan rintihan air mata Nek Sukmini yang menjadi suara pemecah kesunyian.Setelah memanjatkan do’a kepada Allah SWT. Dia kembali melaksanakan sholat subuh. Tetesan pulir-pulir air yang keluar dari dalam matanya tertahan dalam kelopak jangat matanya.
Tiba-tiba gelas di atas mejanya bergetar hebat. Serbuk-serbuk kayu yang keropos serta debu yang menempel di atap berterbangan di atas kepala Nek Sukmini. Piring di meja makan pun ikut bergetar. Kayu penyangga atap rumahnya berjatuhan , Nek Sukmini tak sanggup untuk berlari menyelamatkan diri. Ia pasrah akan keadaanya saat itu. Nek Sukmini tetap melanjutkan sholat dan tak menghiraukannya. Kemudian, petaka pun dating, balok kayu serta tanah dari atas bukit rumahnya menimpah tepat di kepala Nek Sukmini. Ia pun tersungkur dan tertimbun reruntuhan rumah dan tanah. Sebelum ajal menjemputnya, Nek Sukmini membaca syahadat dengan penuh kasih dan cinta.
Nek Sukmini benar-benar meninggal dalam keadaan khusnul khotimah. Keinginanya menghembuskan nafas terakhir di atas tanah rumahnya juga terwujud. Kepergian Nek Sukmini akibat bencana tanah longsor mengegerkan se-antero kampung. Memberikan suasana duka mendalam kepada para warga.
***
Fajar pagi tak lagi menyinari jangat keriput itu, Nek Sukmini pergi membawa sejuta kenangan indah serta jasa-jasanya. Ridwan kehilangan sosok seorang ibu yang ia kagumi, jalan rumahnya tak lagi dijejaki kaki renta wanita tua itu. Lantunan ayat suci nan merdu tak lagi terdengar dari bibir keriput itu, melodi ayat suci itu menghilang bersama kelam dan kesedihan. Wanita tua itu dalam perjalan kembali menuju sang khalik di akhirat, kembali berkumpul bersama suami dan anaknya di taman syurga. (KDC) KrimUI
0 comments:
Posting Komentar