Kajian Pengaruh
Lingkungan Dalam Perilaku School Bullying
di SMAN 70 Jakarta Selatan
Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Kenakalan Anak
Diusulkan oleh :
Muhammad Arief, 1106084002,
Kriminologi Paralel 2011
Kahfi Dirga Cahya, 1106084280, Kriminologi
Paralel 2011
Ryan Andaro Purba, 1106084192,
Kriminologi Paralel 2011
Tubagus Ryan Aronda, 1106084122,
Kriminologi Paralel 2011
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU
POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2012
BAB
I
Pendahuluan
1.
Latar
Belakang Masalah
Kehadiran sekolah dalam kehidupan
merupakan sebuah wadah yang dinilai sebagai kebutuhan dasar manusia dalam membangun intelektualitas. Sekolah dalam hal ini memiliki ruang
lingkup pendidikan yang notabenya – adalah sebuah program yang dibuat untuk
memberikan ilmu kepada generasi penerus dalam membentuk potensi diri.
Berdasarkan
data yang diperoleh dari Kemndiknas pada tahun 2010/2011, terdapat 11.306
Sekolah Menengah Atas (SMA), baik negeri ataupun swasta di Indonesia.[1]
Hal ini merupakan sebuah gambaran atas pesatnya perkembangan pendidikan di
Indonesia. Ini didasari kesadaran masyarakat tentang pendidikan yang mulai
bertambah. Dikarenakan masyarakat menilai bahwa pendidikan merupakan institusi
yang sangat penting dan mempengaruhi kehidupan.
Namun
hal ini tidak diiringi dengan praktik timbal balik yang terjadi di sekolah.
Keberadaan sekolah yang seharusnya menjadi tempat bagi anak untuk menimba ilmu
serta membantu membentuk karakter pribadi yang positif ternyata malah menjadi
tempat tumbuhnya praktek-praktek school
bullying. Kekerasan tersebut melibatkan banyak pihak yang terkait di
dalamnya, mulai dari teman antar teman ataupun guru.
Berdasarkan
data Komisi Nasional (Komnas) Anak pada tahun 2007 tentang tempat terjadinya bullying, terdapat 226 kasus atau 54,20%
bullying terdapat di sekolah
sedangkan 191 kasus atau 45,80% terjadi di luar sekolah. Kemudian, hal ini
didukung juga oleh bentuk bullying yang
terjadi, kekerasan fisik sebesar 89 kasus atau 21,34%, kekerasan seksual
sebesar 118 kasus atau 28,30% dan kekerasan psikis sebesar 210 kasus atau
50,36%.[2]
Data ini mencerminkan sekolah seakan gagal dalam pembentukan karakter
intelektual terhadap pelajar.
Contoh
kasus yang berkaitan dengan school
bullying di sekolah adalah tindakan yang dilakukan oleh Geng Nero.
Kekerasan ini dilakukan oleh remaja putrid di Pati, Jawa Tengah, terhadap
juniornya yang dirasa tidak sepaham dengan mereka. Kasus lainnya adalah kasus
Geng Gazper yang terjadi di SMAN 34 Jakarta [detikNews, 14 November 2007].[3]
Hal ini merupakan satu dari banyak kasus school
bullying di kalangan pelajar sekolah.
Berdasarkan
survey yang dilakukan SEJIWA (2006) pada guru-guru di 3 SMA di dua kota besar
di pulau Jawa menunjukkan bahwa dampak negative bullying masih belum sepenuhnya
disadari oleh para guru. Banyak pihak menganggap bahwa perilaku school bullying sehari-hari di kalangan
pelajar adalah hal yang wajar terjadi.[4]
2.
Permasalahan
Dalam
penelitian internasional menunjukan bahwa school
bullying adalah perilaku umum yang terjadi di sekolah. Intimidasi tersebut
terjadi di berbagai tingkatan kelas. Namun sering terjadi di sekolah tingkat menengah
tinggi. Pada dasarnya school bullying
juga penting karena hubungannya dengan kejahatan, kriminal, kekerasan, dan
jenis-jenis perilaku antisosial yang agresif.[5]
Perilaku school bullying di SMAN 70 Jakarta
merupakan tindakan yang sengaja di wariskan. Secara konkrit school bullying ini terjadi di berbagai
tahap, diantaranya adalah dalam bentuk inisiasi pada masa awal tahun ajaran
baru. Hal ini terjadi secara berulang dikarenakan ada satu ciri yang di dapat
tersendiri jika melakukan school bullying.
Selain itu tindak
kekerasan yang melibatkan siswa SMAN 70 Jakarta ini sudah sangat sistemik
karena terus berulang dan terjadi pembiaran meski pihak sekolah telah
mengetahuinya. Tindak kekerasan tersebut dinilainya tidak terjadi secara
spontan, tetapi seperti ada yang telah merancangnya.[6]
Gambaran akan diri atau self-image merupakan bagian yang penting bagi remaja untuk
menginternalisasi nilai-nilai iternal yang ia pelajari didalam lingkungan peer group nya dimana hal itu dilakukan
untuk mendapatkan kenyamanan bagi dirinya berdasarkan dengan peran-peran yang
ia harapkan terutama mengenai apa yang harus dilakukan dalam interaksi
interpersonal dengan teman-teman sebayanya. Simbol mengenai dirinya tersebut
akan berkembang dan mengiringi remaja dalam kehidupan pribadinya. Berdasarkan
hal tersebut remaja harus dapat secara tegas untuk mengatasi interaksi yang
tidak baik atau tidak sesuai dimana hal ini merupakan berntuk proteksi terhadap
diri sendiri. Bentuk proteksi tersebut dapat disesuaikan dengan keadaan dimana
remaja mendapatkan kekerasan tetapi tidak mencakup kekerasan verbal maupun
ekspresi internal yang diberikan oleh pelaku kejahatan.[7]
Oleh karena itu kami membuat beberapa
pertanyaan penelitian, yaitu:
1.
Bagaimanakah Pengaruh Lingkungan Terhadap Perilaku School Bullying Siswa di SMAN 70 Jakarta
Selatan ?
2.
Bagaimanakah Pengaruh Lingkungan Dalam Pencapaian
Status Lewat Perilaku School Bullying siswa
di SMAN 70 Jakarta Selatan ?
3.
Tujuan
Penelitian
Secara pasti tujuan
dari penelitian ini, yaitu:
1. Mengidentifikasi
penyebab suatu gejala sosial mengenai school
bullying di kalangan pelajar SMAN 70 Jakarta.
2. Menemukan
formula strategi pencegahan school
bullying yang tepat yang dapat mereduksi dan mengontrol school bullying antar pelajar yang kerap
terjadi di SMAN 70 Jakarta. Dengan itu diharapkan dapat meningkatkan rasa aman
dan nyaman sehingga pelajar SMAN 70 Jakarta dapat memaksimalkan potensi
intelektualitas yang mereka miliki.
4.
Manfaat
Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan
mampu memberikan kontribusi dalam pembuatan artikel ilmiah yang dapat digunakan
sebagai bahan referensi yang valid bagi dunia pendidikan maupun dalam pembuatan
kebijakan terkait strategi pencegahan school
bullying di kalangan pelajar.
BAB
II
Kajian
Literatur dan Kerangka Pemikiran
1.
Kajian
Literatur
Dalam Jurnal Evaluation of an Anti-Bullying Program:
Student Reports of Knowledge and Confidence to Manage Bullying, Olweus
(1999) mendefinsikan bullying menjadi 3 kretireia yaitu 1. Sifat agressif atau
tindakan berbahaya, 2. Dan dilakukan berulang kali dari waktu ke waktu, 3.
Hubungan interpersonal yang ditandai dengan ketidak seimbangan kekuatan. Perilaku intimidasi sering terjadi tanpa
penyebab yang tidak jelas dan tindakan negative dapat dilakukan dengan cara
melakukan kontak fisik, dengan kata-kata, atau dengan cara lain seperti membuat
raut wajah atau geraktubuh sebagai sebuah isyarat, dan pengucilan dari
kelompok. (Farrington, 1993; Smith & Sharp, 1994).[8]
Lain
daripada itu jurnal Understanding and
Preventing Bullying, mengungkapkan bullying biasanya di definisikan sebagai
agresi berulang diarahkan pada rekan yang tidak mampu membela dirinya sendiri (Slee, 1995; Smith et al., 1999; Slee, 1995).
Para peneliti telah mengidentifikasi berbagai faktor biologis
dan lingkungan terlibat dalam bullying, sebagai contoh anak cenderung
menjadi korban jika mereka cemas dan terisolasi dari teman-teman mereka,orang
tuanya mengalami depresi dan konflik, atau orang tua mereka menggunakan
gaya otoriter di rumah. (Beran & Violato, 2004; Loeber &
Dishion, 1983). Menurut meta-anilisis yang dilakukan oleh Hawker dan Boulton
(2000), anak-anak yang diganggu adalah cenderung merasa kesepian dan tertekan,
dan memiliki harga diri yang rendah. Misalnya, anak-anak mengalami
tingkat kemarahan dan depresi yang beresiko tinggi untuk terlibat dalam
perilaku kriminal sebagai orang dewasa (Espelage,
Bosworth, & Simon; 2001; Olweus, 1991; Slee, 1995). [9]
Bullying
juga penting karena hubungannya dengan kejahatan, kekerasan kriminal, dan
jenis-jenis perilaku agresif antisosial. Bullying muncul dari interaksi antara
pelaku potensial dan calon korban dalam sebuah
lingkungan yang mempunyai kesempatan. Banyak peneliti telah
membedakan antara intimidasi fisik dan
psikologis dan mereka berpendapat bahwa bullying adalah lebih karakteristik
anak laki-laki, sedangkan psikologis bullying adalah lebih karakteristik anak
perempuan (misalnya, Stephenson dan Smith 1989; Besag 1991; Smith dan Thompson
1991b). Pencegahan berfokus pada bullying, banyak strategi dalam mengurangi bullying dapat
diklasifikasikan di bawah hukum pidana yaitu deterrence, retribution,
reformation, incapacitation, denunciation, and reparation. Sebagai contoh bullying adalah pelanggaran yang paling
sering menyebabkan hukuman fisik di Irlandia Utara (Tattum 1989). Di Cleveland,
penggunaan hukuman fisik untuk mencegah bullying
kadang-kadang dianggap untuk membantu
sekitar setengah guru dan sekitar sepertiga dari staf layanan Psikologis. (Stephenson and Smith
1989). Seperti pencegahan dengan fokus
pada pelaku bullying, ada usulan untuk pencegahan dengan fokus pada korban,
banyak didasarkan pada pengalaman praktis. Misalnya, Jones (1991) menyarankan
bahwa guru harus memperingatkan anak-anak tentang kemungkinan diintimidasi
ketika mereka tiba di sekolah menengah, atau bahkan sebelum mereka tiba, pada
hari induksi. Dia juga menyarankan menggunakan drama untuk menunjukkan
anak-anak cara untuk menolak pelaku atau bagaimana cara memberitahu guru
tentang bullying. Pencegahan bullying berfaktor Lingkungan Upaya pencegahan
yang paling berfokus pada lingkungan sekolah telah berpusat pada peningkatan
pengawasan (terutama di taman bermain), pada "pengadilan pelaku,"
atau pada pendekatan "seluruh-sekolah" untuk bullying. Sebagai
contoh, Besag (1989b, 1991) menunjukkan kebutuhan untuk memiliki baik diawasi taman
bermain, koridor, toilet, dan ruang ganti. Sayangnya, supervisor makan siang
yang sering kurang dibayar, tidak terlatih, dan kualitas yang buruk.[10]
Bullying
di sekolah sangat berpengaruh pada siswa, yang
menimbulkan konsekuensi kekerasan dan masalah bagi korban dan pelaku
(Hazier, 1994). Banyak pelaku di sekolah memiliki
masalah dengan hukum di masa dewasa mereka (Batsche &Knoff,
1994; Eron&Huesmann, 1984; Farrington,
1991; Lochman, 1992; Olweus,
1994). Korban bullying menderita kehilangan harga diri jangka
panjang ke dalam kehidupan dewasa mereka (Boulton &Underwood,
1992; Slee, 1994). Studi penelitian telah
berusaha dengan beberapa keberhasilan untuk mengidentifikasi karakteristik penting
dari korban dan pelaku. Dalam kajian mereka, Batsche dan Knoff (1994)
menyimpulkan bahwa pelaku datang dari keluarga di mana orang tua otoriter,
kasar, dan menolak, memiliki kemampuanyang miskin dalam memecahkan masalah. Bullying memiliki sejarah perilaku
agresif, dan mereka sering mengambil keuntungan dari kekuatan fisik mereka
(Olweus,1991b) Korban bullying tanpa teman di
sekolah dan terlalu dilindungi oleh orangtua mereka di rumah (Olweus,
1978).
Beberapa studi penelitian telah mengidentifikasi
siklus korban bullying di
sekolah (misalnya, Besag, 1989; Carvel, 1992). Misalnya, siswa dengan lemah
kondisi fisik lebih mungkin dibandingkan dengan kondisi fisik yang lebih kuat
untuk menjadi korban dan pelaku (Perry, dkk., 1988). Teori pembelajaran sosial mungkin memainkan peran penting dalam menjelaskan siklus korban bullying seperti yang telah digunakan dalam studi tentang kekerasan dan penyalahgunaan (misalnya, Lorber, Felton, &Reid, 1984;Matson, 1989; Sobsey, 1994). Sebagai contoh, Lorber dkk(1984) membahas peran teori pembelajaran sosial dalam siklus korban pelaku pelecehan. Peneliti menemukan bahwa korban kekerasan seringkali lebih cenderung mengganggu, agresif, dan kekerasan dari rekan-rekan non-abused mereka, dan mereka menjelaskan hasil perilaku seperti pembelajaran sosial. Penjelasan ini muncul untuk cocok dengan beberapa temuan dalam penelitian yang gertakan beberapa yang paling korban ekstrim bullying juga beberapa yang paling agresif pelaku (Perry et al, 1988.)[11]
sekolah (misalnya, Besag, 1989; Carvel, 1992). Misalnya, siswa dengan lemah
kondisi fisik lebih mungkin dibandingkan dengan kondisi fisik yang lebih kuat
untuk menjadi korban dan pelaku (Perry, dkk., 1988). Teori pembelajaran sosial mungkin memainkan peran penting dalam menjelaskan siklus korban bullying seperti yang telah digunakan dalam studi tentang kekerasan dan penyalahgunaan (misalnya, Lorber, Felton, &Reid, 1984;Matson, 1989; Sobsey, 1994). Sebagai contoh, Lorber dkk(1984) membahas peran teori pembelajaran sosial dalam siklus korban pelaku pelecehan. Peneliti menemukan bahwa korban kekerasan seringkali lebih cenderung mengganggu, agresif, dan kekerasan dari rekan-rekan non-abused mereka, dan mereka menjelaskan hasil perilaku seperti pembelajaran sosial. Penjelasan ini muncul untuk cocok dengan beberapa temuan dalam penelitian yang gertakan beberapa yang paling korban ekstrim bullying juga beberapa yang paling agresif pelaku (Perry et al, 1988.)[11]
Penelitian
Student
Victimization: National and School System Effects on School Violence in 37
Nations mengambil perspektif bahwa kekerasan di sekolah adalah fenomena
global yang mempengaruhi salah satu inti pemikiran masyarakat modern sebagian
besar mengenai kekerasan. Studi kusus mengenai kenakalan atau bullying, memiliki fokus pada individu,
kelompok dan struktur sosial. Lintas-nasional studi kejahatan umum (misalnya
pembunuhan) cenderung berfokus pada tingkat nasional prediktor tingkat
kejahatan tapi tidak berusaha untuk mempelajari bagaimana karakteristik
nasional atau seluruh sistem sekolah.
Dalam
karya sebelumnya penelitian ini menemukan bahwa karakteristik masyarakat nasional
pendidikan-sistem nasional merupakan faktor kuat yang mempengaruhi ukuran dan
fungsi dari bayangan sistem pendidikan (Baker et al., 2001) serta pola dasar guru
saat berperan (Letendre et al., 2001). Selain faktor-faktor yang dibahas di
atas, kita berhipotesis bahwa karakteristik nasional pendidikan akan secara
signifikan terkait dengan seluruh sistem tingkat kekerasan. Sebagai contoh,
sebuah sistim yang menghasilkan rendahnya tingkat prestasi dapat membuat
sejumlah besar siswa yang menemukan sekolah yang tidak berguna dan mungkin lebih
rentan untuk bertindak
Tahap
pertama terdiri dari sampel probabilitas-proporsiol agar ukuran sekolah yang
dipilih oleh sebagian besar siswa di tingkat kelas yang ditargetkan. Tahap
kedua sampel hingga dua ruang kelas matematika per sekolah dengan probabilitas
yang sama seleksi, dan semua siswa dalam kelas dilibatkan dalam penelitian.
Matematika dan tes prestasi ilmu pengetahuan serta kuesioner latar belakang
siswa, guru, dan kepala sekolah dirancang untuk menjadi sebanding di negara.
Itu mempelajari bobot sampling yang dikembangkan untuk menyesuaikan dalam
pengambilan sampel proporsional dari sub kelompok dan non-respon (Gonzalez
& Smith, 1997). Ini mendokumentasikan angka dasar yang sekolah kekerasan,
dalam satu bentuk atau lainnya, memang masalah internasional, dan bahwa tidak
ada negara yang kebal.
Kedua
guru dan siswa melihat kekerasan di sekolah yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Data ini sebagian besar telah hilang yang belum diakui dalam perdebatan saat
ini tentang restrukturisasi atau memperbaiki sekolah-sekolah AS. Namun,
beberapa mungkin berpendapat bahwa kekerasan di sekolah benar-benar dihasilkan
oleh kekerasan dalam masyarakat dan bahwa kebijakan pendidikan dapat berdampak
kecil terhadap tingkat kekerasan sekolah. Telah umumnya dianggap bahwa tingkat
kekerasan di sekolah dan kenakalan remaja lainnya adalah cerminan dari tingkat
kejahatan di masyarakat (Elliot, Hamburg, & Williams, 1998; Lawrence,
1998). Namun, lintas data nasional tidak mendukung anggapan ini. Tidak ada satu
indikator sekolah kekerasan secara signifikan berhubungan dengan tingkat
kejahatan yang disajikan di sini.
Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa kekerasan sekolah tidak secara langsung untuk
keseluruhan tingkat kejahatan atau penyimpangan dalam suatu masyarakat
tertentu. Karena kurangnya lintas data nasional pada tingkat kejahatan usia
tertentu, mungkin terjadi bahwa kekerasan di sekolah berkaitan dengan tingkat
kejahatan remaja, tetapi sama masuk akal bahwa kejahatan remaja atau
penyimpangan yang terjadi di luar sekolah berbeda dari kejahatan atau
menyimpang bertindak dilakukan dalam sekolah. Penelitian tersebut mengambil sebagai premis bekerja kemudian
bahwa kekerasan yang terjadi di dalam sekolah lebih cenderung berasal dari
faktor proksimat dalam sistem sekolah itu sendiri.
Pindah
dari premis ini, kita berharap bahwa faktor-faktor seperti mekanisme menjaga
berat atau sistem yang menghasilkan sejumlah besar akademik. Temuan utama dari penelitian
ini dapat ringkas sebagai berikut:
·
Kekerasan sekolah secara luas lazim di antara
37 negara yang diteliti.
·
Kekerasan tidak berhubungan dengan tingkat
kejahatan umum di bangsa dan tingkat sekolah
·
Kekerasan terkait dengan beberapa indikator
sosial seperti:
o
Kekurangan mutlak dan distribusi umur tapi
tidak kepada orang lain seperti ketimpangan penghasilan atau integrasi sosial.
·
Kekerasan terkait dengan sekolah-sistem
variabel dan dampak dari variabel independen dari variabel sosial.
·
Ketika sekolah-sistem variabel yang dikontrol,
banyak variabel sosial-yang menjadi tidak bermakna.
Walaupun
temuan dapat dinyatakan sederhana, implikasi dari data ini adalah kuat dan
kompleks. Penelitian ini menantang banyak keyakinan konvensional dari komunitas
kebijakan pendidikan serta panggilan mempertimbangkan nilai jelas
langkah-langkah nasional kondisi sosial dalam memprediksi kekerasan di sekolah.
Hal ini juga menunjukkan kesulitan dalam menggunakan teori tradisional
kenakalan remaja atau penyimpangan menjelaskan tarif nasional kekerasan
sekolah.[12]
2.
Kerangka
Pemikiran
Menurut teori konvergensi yang dikemukan oleh
William Stern, dikemukakan bahwa perkembangan individu tidak hanya dipengaruhi
oleh faktor bawaan saja, tetapi faktor lingkungan juga ikut berpengaruh. Sehingga
manusia perlu berinteraksi dengan lingkungan sekitar.[13]
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, yang dimaksud dengan anak adalah:[14]
“Anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan.”
Menurut Ganter & Yeakel,
menurut sekolah adalah lembaga yang terakreditasi bagi anak; pengaruhnya
terhadap sikap mereka mengembangkan adalah signifikan. Sikap dikembangkan
sesuai dengan kebutuhan bagi seorang anak untuk mendapatkan proses yang tepat.
Salah satu fungsi utama dari sekolah adalah mencari pengetahuan. Sikap anak
terhadap belajar terutama ditandai oleh pengetahuan mencari, dan sikap ini
sering berubah dalam kondisi sekolah formal. Di banyak sekolah anak masih
diharapkan menjadi tidak aktif, anak terkadang bersikap malas dan kurang ada
rasa ingin tahu.[15]
School
Bulying menurut Riauksina, Djuwita dan Soesinto
didefinisikan sebagai perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh
seorang/sekelompok pelajar yang memiliki kekuasaan, terhadap pelajar/siswi lain
yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut.[16]
Gambaran akan diri atau self-image merupakan bagian yang penting bagi remaja untuk
menginternalisasi nilai-nilai internal yang ia pelajari didalam lingkungan peer group nya dimana hal itu dilakukan
untuk mendapatkan kenyamanan bagi dirinya berdasarkan dengan peran-peran yang
ia harapkan terutama mengenai apa yang harus dilakukan dalam interaksi
interpersonal dengan teman-teman sebayanya. Simbol mengenai dirinya tersebut
akan berkembang dan mengiringi remaja dalam kehidupan pribadinya. Berdasarkan
hal tersebut remaja harus dapat secara tegas untuk mengatasi interaksi yang
tidak baik atau tidak sesuai dimana hal ini merupakan berntuk proteksi terhadap
diri sendiri. Bentuk proteksi tersebut dapat disesuaikan dengan keadaan dimana
remaja mendapatkan kekerasan tetapi tidak mencakup kekerasan verbal maupun
ekspresi internal yang diberikan oleh pelaku kejahatan.[17]
Cohen dengan teori subkebudayaan
delinkuennya menjelaskan bahwa perilaku kenakalan dilakukan oleh anak-anak yang
berkelompok dengan teman-temannya. Kenakalan ini salah satunya adalah bullying, yang menurut Cohen sebuah
tindakan yang tidak memiliki asas atau tujuan yang jelas.[18]
Shawn dan Mc Kay mengemukakan sebuah
teori yang berpendapat bahwa kenakalan perlu di transmisi karena pengaruh gaya
hidup dan mendapatkan status merupakan
hal yang penting. Teori ini dinamakan sebagai Cultural Transmission Theory. [19]
BAB III
Metode Penelitian
1.
Pendekatan Penelitian
Pendekatan
penelitian adalah mengacu pada cara peneliti melihat suatu gejala atau realitas sosial yang didasari pada asumsi
dasar. Dalam penelitian kualitatif gejala sosial didefinisikan melalui hasil
pemaknaan atau interpretasi. Pendekatan kualitatif dipilih karena peneliti
beranggapan bahwa penelitian kualitatif dapat menggambarkan realitas yang ada
dan pendekatan ini dinilai sangat peka karena dapat menangkap aspek dalam dunia
sosial yang sulit ditangkap melalui angka-angka (Neuman,
1997:239).
Mengutip pandangan Taylor dan Bogdan
(1984:5), Hendrarso (2005:166) mengatakan bahwa penelitian kualitatif dapat
diartikan sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif mengenai
kata-kata lisan maupun tertulis, dan tingkah laku yang dapat diamati dari
orang-orang yang diteliti.Penelitian
kualitatif disebut verstehen (pemahaman mendalam) karena mempertanyakan
makna suatu objek secara mendalam dan tuntas. Penelitian kualitatif disebut participant-observation
karena peneliti itu sendiri yang harus menjadi instrumen utama dalam
pengumpulan data dengan cara mengobservasi langsung objek yang ditelitinya
(Irawan, 2006:4).
Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan pendekatan kualitatif untuk menjelaskan fenomena school bullying yang kerap terjadi di
kalangan pelajar SMAN 70 Jakarta Selatan. Peneliti berupaya untuk mengetahui
dan menjelaskan tentang penyebab terjadinya school
bullying di kalangan pelajar SMAN 70 Jakarta Selatan. Selain itu, peneliti
juga ingin mengetahui upaya apa sajakah yang telah dilakukan dalam mengatasi
masalah school bullying di kalangan
pelajar SMAN 70 Jakarta Selatan. Serta program pencegahan kenakalan yang
digunakan untuk menanggulangi school
bullying. Peneliti berfokus melihat pada bagaimana seharusnya program
pencegahan kenakalan yang tepat untuk menanggulangi school bullying di kalangan pelajar SMAN 70 Jakarta Selatan.
2. Tipe
Penelitian
Tipe
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Metode
penelitian deskriptif
bertujuan untuk
mengidentifikasi dan menggambarkan fenomena yang
terjadi dalam masyarakat kemudian menganalisa fenomena tersebut secara jelas.
Pada penelitian deskriptif
memusatkan perhatian kepada fakta (fact
finding)
sebagaimana keadaan yang sebenarnya.
3. Teknik
Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data merupakan suatu cara yang dilakukan oleh peneliti untuk
mendapatkan data ataupun informasi yang berguna dan valid untuk menjelaskan
permasalahan yang diteliti.
3.1.
Teknik
Wawancara Mendalam
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan
data yang digunakan adalah wawancara mendalam.Teknik wawancara merupakan salah satu cara pengumpulan
data dalam suatu penelitian. Karena menyangkut data, maka wawancara merupakan
salah satu elemen penting dalam proses penelitian (Musta’in Mashud, 2005:69)[20].
Teknik wawancara adalah suatu cara yang digunakan oleh peneliti untuk
mendapatkan informasi maupun pendirian secara lisan dari informan, dengan
wawancara berhadapan muka (face to face) antara pewawancara dan
informan. Dengan tujuan untuk memperoleh data yang dapat menjelaskan dan atau
menjawab suatu permasalahan penelitian. Sedangkan yang dimaksud dengan teknik
wawancara tidak berstruktur adalah wawancara yang dilakukan berdasarkan pada
suatu pedoman atau catatan yang hanya berisi butir-butir atau pokok-pokok
pemikiran mengenai hal yang akan ditanyakan pada waktu wawancara berlangsung.
Dalam teknik wawancara tersebut pewawancara mempunyai kebebasan dalam bagaimana
merumuskan dan menanyakan butir-butir atau pokok-pokok yang tertera dalam
pedoman wawancara kepada informan. Pewawancara dengan leluasa menanyakan
berbagai pertanyaan yang biasanya disertai dengan probing, dengan tujuan
untuk memperkaya info yang dibutuhkan (Malo, 1986:378). Untuk dapat menjelaskan
permasalahan terkait dengan school
bullying di kalangan pelajar, maka dalam penelitian ini, peneliti melakukan
wawancara ke berbagai pihak terkait.
3.2.
Studi
Literatur
Studi
literatur merupakan teknik pengumpulan data dari dokumen peristiwa yang telah
berlalu. Dokumen dapat berbentuk buku, jurnal ilmiah, karya ilmiah (skripsi,
tesis, disertasi), peraturan perundang-undangan, laporan penelitian, laporan
media massa (elektronik dan cetak, termasuk internet). Peneliti berupaya untuk
mengkaji berbagai buku yang membahas terkait tawuran, identitas sosial, kohesi
sosial, dan strategi pencegahan school
bullying dari berbagai disiplin ilmu seperti kriminologi, hukum, sosiologi,
psikologi, penologi, dan sebagainya.
3.3. Teknik Analisis Data
Dalam pengolahan
data kualitatif, peneliti memaparkan gambaran dan keadaan yang sebenarnya
tentang penyebab terjadinya school
bullying, pengaruhnya bagi pelajar sekolah, dan strategi pencegahan school bullying yang tepat di kawasan
tersebut agar dapat menunjukkan bahwa fenomena tersebut merupakan hal yang
sangat serius dan menimbulkanrasa takut akan ancaman bagi siswa SMAN 70 Jakarta
Selatan. Selanjutnya pemaparan tersebut memunculkan alternatif sebagai solusi
dari permasalahan yang diajukan.
4. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini bertempat di SMAN
70 Jakarta Selatan, Jalan Bulungan Blok C Nomor
1, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan,DKI Jakarta.
5. Waktu Penelitian
Waktu penelitian yang dilakukan
dalam penelitian kami, yaitu 3 minggu. Dengan rincian sebagai berikut:
Minggu ke-1: Pembuatan teknis
penelitian dan mencari informan
Minggu ke-2: Wawancara dengan
informan
Minggu ke-3: Memasukan data yang
telah di dapat seta menganalisisnya.
6. Hambatan Penelitian
Kami juga memiliki hambatan dalam
melakukan penelitian, diantaranya adalah keterbatasan informan dalam memberikan
informasi kepada tim peneliti.
BAB IV
Temuan Data Lapangan
1. Gambaran Umum
1.1. Tempat Penelitian
1.1.1.
Sejarah
SMA ini adalah gabungan dua SMA Negeri bertetangga, yaitu SMA
Negeri X dan SMA Negeri XI yang masing-masing berdiri tahun 1959 dan 1960.
Kedua sekolah ini bergabung pada 5 Oktober 1981.
1.1.2.
Siswa, Guru
dan Kepala Sekolah
1.1.2.1.
Jumlah Siswa
Jumlah siswa pada tahun 2010/2011
adalah 1141 siswa
1.1.2.2.
Jumlah Guru
Jumlah guru sebanyak 183 orang
guru
1.1.2.3.
Jumlah
Kepala Sekolah
No.
|
Nama
|
Mulai menjabat
|
Selesai menjabat
|
1
|
Drs. Darmadi
|
3 Oktober 1982
|
6 Oktober 1985
|
2
|
Drs. Joelioes Joesoef
|
7 Oktober 1985
|
6 November 1992
|
3
|
Drs. Asrul Chatib
|
7 November 1992
|
24 Oktober 1996
|
4
|
Drs. H. Syaridin Zas
|
25 Oktober 1996
|
31 Juli 2000
|
5
|
Drs. Suyanto, M.M.
|
1 Agustus 2000
|
18 Maret 2004
|
6
|
Drs. Djumadi, M.Pd.
|
19 Maret 2004
|
15 Februari 2005
|
7
|
Drs. Asyikin
|
16 Februari 2005
|
14 Januari 2008
|
8
|
Drs. H. Pono Fadlullah, M.Hum.
|
14 Januari 2008
|
25 Januari 2010
|
9
|
Drs. Pernon Akbar, M.Psi.T
|
26 Januari 2010
|
12 Januari 2011
|
10
|
Drs. H. Sudirman Bur
|
12 Januari 2011
|
2011
|
11
|
Drs. Saksono Liliek Susanto, M.Pd.
|
2011
|
Sekarang
|
1.1.3.
Kurikulum
SMA Negeri X Jakarta menerapkan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan.
1.1.4.
Fasilitas
Fasilitas SMA Negeri X Jakarta
antara lain sebagai berikut:
·
Ruang multimedia
·
Ruang audiovisual
·
Sarana olahraga (bola basket, bola voli, bulu tangkis, sepak bola, papan panjat, fitness, tenis meja, tinju)
·
Ruang relaksasi
·
Ruang kegiatan ekstra kurikuler
1.1.5.
Prestasi
·
Tahun ajaran 2001-2002, membuka Layanan
Program Percepatan Belajar (kelas akselerasi).
·
Tahun 2003, menjadi SMAN Plus Tingkat
Provinsi DKI Jakarta.
·
Tahun ajaran 2003-2004, membuka Layanan
Program Sertifikasi Internasional A/AS Level yang mengacu pada University of
Cambridge International Examination (kelas internasional).
·
Tahun 2004, menjadi SMAN Plus Standar
Nasional.
·
Tahun ajaran 2006-2007, ditetapkan
sebagai salah satu Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional (RSBI).
·
Bulan Januari 2007, menjadi Cambridge
International Examination Test
Centre dengan
ID 074 yang dapat menyelenggarakan ujian sertifikasi IGCSE dan A/AS Level.
1.1.6.
Kegiatan
Ekstrakurikuler
·
Bulungan Art Club (BAC) X, bergerak di
bidang seni lukis
·
Lentera X, bergerak di bidang
jurnalistik
·
Seksi Karya Ilmiah Remaja (SKIR) X,
bergerak di bidang ilmu pengetahuan
·
Tata Laksana Upacara (TLUP) X, bergerak
di bidang pelaksanaan upacara dan
pengibaran bendera (paskibra)
1.2. Lokasi Penelitian
1.3. Objek Penelitian
School
bullying di SMAN 70 Jakarta Selatan
1.4. Umur Informan
Umur informan ke-1 : 17 Tahun
Umur informan ke-2 :
17
Tahun
Umur informan ke-3 : 18 Tahun
1.5. Latar Belakang Informan
Informan 1
Tanggal lahir : 16 Desember 1994
Alamat Rumah : Komplek Tanjung Mas, Tanjung Barat, Jakarta Selatan
Anak ke : 2 dari 3 bersaudara
Informan 2
Tanggal
lahir : Bandung,
21 November 1994
Alamat
Rumah : Lebak Bulus, Bona Indah,
Jakarta Selatan.
Anak ke : 2 dari 3 bersaudara
Informan 3
Tanggal lahir : Jakarta, 18 Februari 1994
Alamat Rumah : Kebon Kacang Nomor 41, Jakarta Pusat
Anak ke : 2 dari 3 bersaudara
BAB V
Analisis
1.
Pengaruh
Lingkungan Terhadap Perilaku School Bullying
di SMAN 70 Jakarta Selatan
Sebenarnya Studi kusus mengenai
kenakalan atau bullying, memiliki
fokus pada individu, kelompok dan struktur sosial.[21] Pada
perkembangannya school bullying di
kalangan pelajar merupakan suatu hal yang sudah dianggap wajar keberadaanya. Hal ini dikarenakan school bullying dapat dikatakan sebagai
alat tersendiri bagi pelajar dalam memperoleh satu ciri khas. Kewajaran ini
merembet kepada intensitas terjadinya school
bullying di kalangan pelajar. Sejalan dengan itu kerugian yang didapat
sangatlah beragam dan cenderung mengarah ke fisik. Sebab school bullying yang biasa dilakukan adalah kekerasan secara fisik,
seperti pemukulan, penendangan, penamparan dan hal-hal lainnya yang mengarah
kepada tindakan psikis. Hal tersebut sesuai dengan pengakuan informan, yaitu:
“Gue
pernah di gampar, terus di tonjok senior”.
Jika melihat pengakuan tersebut, jelas
terlihat bahwa senior memiliki hak otoritas yang lebih tinggi. Hal ini
dikarenakan senior dianggap seseorang yang lebih mengerti dan berkuasa di
sekolah tersebut. Sehingga para junior,
baik itu satu tahun dibawah dan siswa
baru, harus mengikuti aturan yang berlaku. Sebab proses ini merupakan satu tindakan
yang dianggap suatu hal yang lumrah terjadi. Aturan ini memberikan kewenangan
lebih terhadap senior dalam melakukan tindakan di lingkup sekolah.
“Gue
takut banget sama senior pas jadi junior”.
Berdasarkan data yang diperoleh,
biasanya school bullying yang terjadi
di SMAN 70 Jakarta Selatan yaitu saat
masa orientasi siswa (MOS). Hal ini merupakan keharusan bagi murid baru untuk
mengikuti mos. Karena masa orientasi ini merupakan langkah dalam proses
penginternalisasian diri. Proses ini mengacu kepada bagaimana seorang senior menandakan kekuasaan
mereka di lingkungan sekolah tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan
kekuasaan yang menghasilkan kehormatan tersendiri bagi senior di lingkungan
sekolah tersebut.
“Biasa
aja pas mos
(formalitas) sama guru.
Setelah itu di kumpulin di suruh nongkrong karena di paksa
sama senior,
abis itu di suruh ribut sama sekolah lain”.
Sejalan dengan
itu, tindakan saat menjadi senior memberikan sebuah kacamata lain dari proses school bullying di SMAN 70 Jakarta
Selatan. Berdasarkan wawancara yang dilakukan, senior menganggap bahwa siswa
baru adalah tanggung jawab mereka. Hal ini dikarenakan mereka merasa terpanggil
untuk mendidik murid baru untuk mengikuti aturan yang berlaku serta
melestarikannya. Sehingga aktivitas di lingkungan sekolah tersebut tidak
terkikis.
Pada prinsipnya
lingkungan di SMAN 70 Jakarta Selatan memiliki pengaruh besar dalam proses
perkembangan siswa. Hal ini dikarenakan lingkungan menjadi satu tempat
internalisasi diri bagi siswa untuk mengidentifikasi diri. Selain itu, siswa
juga lebih banyak berinteraksi ke luar daripada ke dalam. Sehingga
mengakibatkan lingkungan menjadi tempat pembelajaran yang paling diminati bagi
siswa.
Mengacu kepada teori
konvergensi yang dikemukan oleh William Stern, dikemukakan bahwa perkembangan
individu tidak hanya dipengaruhi oleh faktor bawaan saja, tetapi faktor
lingkungan juga ikut berpengaruh. Sehingga manusia perlu berinteraksi dengan
lingkungan sekitar.[22]
Dapat dilihat sebuah titik temu dimana siswa lebih banyak dipengaruhi oleh
lingkungan dalam proses perkembangannya.
Lebih dari itu, school bullying yang terjadi di SMAN 70
Jakarta Selatan dianggap sebagai sesuatu yang perlu ditransmisi, karena mereka
menganggap perilaku school bullying merupakan
bagian penting dalam proses perkembangan diri di lingkungan sekolah tersebut.
Sepaham dengan
itu, Shawn dan Mc Kay mengemukakan sebuah teori yang berpendapat bahwa
kenakalan perlu di transmisi karena pengaruh gaya hidup dan mendapatkan status merupakan hal yang
penting. Teori ini dinamakan sebagai Cultural
Transmission Theory. [23]
Melihat teori transmisi kebudayaan sangatlah jelas jika dikaitkan dengan School Bullying di SMAN 70 Jakarta
Selatan, karena perilaku school bullying di
sekolah tersebut lebih kepada bagaimana mereka mendapatkan pengakuan dari orang
lain.
2. Pengaruh Lingkungan Dalam Pencapaian Status
Lewat Perilaku School Bullying Siswa
di SMAN 70 Jakarta Selatan
Pencarian status
di ruang lingkup sekolah merupakan sebuah hal yang penting di dalam praktiknya.
Hal ini dikarenakan, status di dalam satu lingkup sekolah adalah salah satu
gambaran diri yang penting. Gambaran diri ini memberikan sebuah kehormatan
tersendiri bagi individu atau anak di dalam peer
sekolahnya. Lebih dari itu, gambaran ini mencerminkan kepentingan
tersendiri bagi anak dalam melakukan sesuatu.
Pencapaiaan
status ini di SMAN 70 Jakarta Selatan di dapat setelah melalui proses panjang
dari school bullying, baik menjadi
korban ataupun menjadi pelaku. Perilaku school
bullying ini memberikan sebuah jalan yang lebar untuk mendapatkan status tersendiri
bagi anak. Hal ini ditujukkan dari beragam status yang dimiliki di SMAN 70
Jakarta Selatan. Berdasarkan data dari informan, di SMAN 70 Jakarta Selatan
kelas satu (10) dianggap bukan manusia, kelas dua (11) adalah manusia dan kelas
tiga (12) merupakan setengah dewa. Selain itu informan juga mengungkapkan hal
lain, yaitu:
“ngerasa pas kelas satu hina”.
Perasaan ini
muncul dari strata yang diterapkan di SMAN 70 Jakarta Selatan. Di saat kelas
satu mereka juga seakan menjadi budak, karena tugas mereka melayani kelas tiga,
yaitu dengan mengikuti apa yang kelas tiga katakan. Lebih dari itu, berdasarkan
informan, kelas tiga dalam hal ini sering meminta uang (kolekan) kepada junior
yang akhirnya mereka gunakan untuk bersenang-senang. Namun, dalam perilaku lainnya
yang paling menonjol adalah proses school
bullying. Hal ini dikarenakan bullying
dianggap sudah menjadi budaya.
Cohen dengan
teori subkebudayaan delinkuennya menjelaskan bahwa perilaku kenakalan dilakukan
oleh anak-anak yang berkelompok dengan teman-temannya. Kenakalan ini salah
satunya adalah bullying, yang menurut
Cohen sebuah tindakan yang tidak memiliki asas atau tujuan yang jelas.[24]
Selain itu perilaku intimidasi sering
terjadi tanpa penyebab yang tidak jelas dan tindakan negative dapat dilakukan
dengan cara melakukan kontak fisik, dengan kata-kata, atau dengan cara lain
seperti membuat raut wajah atau geraktubuh sebagai sebuah isyarat, dan pengucilan
dari kelompok. (Farrington, 1993; Smith & Sharp, 1994).[25]
Jika mengacu pada informan tentang school
bullying di SMAN 70 Jakarta Selatan, sebenarnya mereka berpendapat bahwa
perilaku school bullying yang mereka
lakukan untuk pembelajaran junior kedepan dalam menghadapi masalah kedepan.
Namun jika mengacu pada teori Cohen, hal seperti itu merupakan sesuatu yang
dianggap tidak bisa dipertanggungjawabkan dasar serta tujuannya.
Dalam
praktiknya, school bullying di SMAN
70 Jakarta Selatan dianggap sebuah kebanggan tersendiri. Karena mereka
melakukan perilaku school bullying atas
nama solidaritas. Solidaritas ini menurut informan merupakan sebuah doktrin
yang wajib diberikan sebelum melakukan perilaku school bullying. Sehingga pada praktiknya senior dapat leluasa
melakukan school bullying terhadap
juniornya. Berdasarkan pengakuan dari informan saat ia menjadi junior dan
senior, perilaku school bullying yang
dilakukan senior mengakibatkan salah seorang murid dirawat di rumah sakit.
Tindakan lainnya
yang tak kalah mencengangkan adalah tawuran antar sekolah yang menjadi sesuatu simbolik.
Menurut pengakuan informan, murid laki-laki diwajibkan untuk ikut serta dalam
tawuran antara pelajar. Hal ini terus dilakukan oleh pelajar karena masih
dianggap satu bentuk solidaritas. Padahal berdasarkan pengakuan informan, dia
sendiri pernah terkena gear(gerigi)
di badannnya.
Lebih dari itu,
melihat dari intensitas school bullying
yang terlampau sering dan terkesan pemaksaan ini dapat tergambar bahwa
kehidupan di SMAN 70 Jakarta Selatan membutuhkan satu pengakuan tersendiri
untuk setiap individu anak. Karena pendapatan suatu status dinilai penting dan
menjamin kelangsung dalam peer di SMAN
70 Jakarta Selatan. Perilaku school
bullying ini dapat mencerminkan gambaran individu di dalam satu peer di sekolah tersebut. Hal ini
diakibatkan proses pembelajaran atau internalisasi diri dari lingkungan dan peer.
Secara garis
besar kekerasan di sekolah benar-benar dihasilkan oleh kekerasan dalam
masyarakat dan bahwa kebijakan pendidikan dapat berdampak kecil terhadap
tingkat kekerasan sekolah. Telah umumnya dianggap bahwa tingkat kekerasan di
sekolah dan kenakalan remaja lainnya adalah cerminan dari tingkat kejahatan di
masyarakat (Elliot, Hamburg, & Williams, 1998; Lawrence, 1998).[26]
Selain itu School bullying diakui
sebagai fenomena global yang mempengaruhi salah satu inti pemikiran masyarakat
modern yang sebagian besar mengenai kekerasan.[27]
BAB VI
Penutup
1. Kesimpulan
Pada prinsipnya school bullying merupakan sebuah
perilaku yang sudah menjadi satu bentuk fenomena tersendiri di dalam kalangan
pelajar, terutama di SMAN 70 Jakarta Selatan. Hal ini berkaitan dengan perilaku
school bullying yang di internalisasi
oleh pelajar di SMAN 70 Jakarta Selatan untuk mendapatkan gambaran diri di peer sekolah tersebut. Gambaran diri ini
digunakan untuk mencirikan bagaimana individu anak dalam berinteraksi dengan
teman peer-nya. Proses
penginternalisasian ini merupakan bentuk dari pembelajaran indvidu anak dalam
lingkungannya. Sehingga, lingkungan di identifikasikan menjadi satu tempat yang
dianggap penting dalam proses penggambaran diri individu anak di SMAN 70
Jakarta Selatan.
2. Rekomendasi
Secara pasti,
kami sebagai tim peneliti pastinya memiliki kerisauan yang begitu mendalam
terhadap school bullying yang diakui
menjadi budaya di kalangan pelajar, khususnya SMAN 70 Jakarta Selatan. Oleh
karena itu, kami memberikan rekomendasi untuk menanggulangi perilaku school bullying di sekolah tersebut,
diantaranya yaitu:
1.
Tindakan internal sekolah dalam merespon perilaku school bullying.
2.
Pengawasan keluarga terhadap tindakan individu anak
yang menyangkut kehidupan bersosialisasinya dengan teman sebayanya di kehidupan
sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Copes, H., Topalli, V., (2009). Criminological
Theory. New York : McGraw-Hill.
Shaw, C.R., dan
H. McKay. (1942), Juvennile Delinquency
and Urban Areas. Chicago: University of Chicago Press.
Suyanto, Bagong.
(2005). Metode Penelitian Sosial:
Berbagai Alternatif Pendekatan, Kencana, Jakarta.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak
Cohen, A.K.
(1995a) Juvennile Delinquency and the
Social Structure, Ph.D. Thesis. Harvard University.
Jurnal
Akiba, Motoko, (2002).
Student Victimization: National and
School System Effects on School Violence in 37 Nations. Amerika: American
Educational Research Association
Beran, Tanya and Shapiro., Bonnie, (2005). Evaluation
of an Anti-Bullying Program: Student Reports of Knowledge and Confidence
toManage Bullying. Canadian Society for the Study of Education.
Farrington,
David, P. Understanding and Preventing School
bullying. The University of Chicago Press. 1993
Jurnal Psikologi Sosial 12 ((01), 2005
: 1-13)
Ma, Xin,. (2001). Bullying and Being Bullied: To What Extent
Are Bullies Also Victims?. Amerika: American Educational Research
Association
SEJIWA
Smith, K. Peter, dkk,. (2002). Definitions
of Bullying: A Comparison of Terms Used, and Age and Gender Differences, in a Fourteen-Country International Comparison.
Blackwell Publishing.
Website
www.detiknews.com
http://edukasi.kompas.com/read/2011/10/27/14524275/.Bullying.di.SMA.X.Jakarta.Bukan.Aksi.Spontan
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/aktualisasi_diri/bab2proses_perkembangan_manusia.pdf
http://psma.kemdiknas.go.id/home/data/rekap_nasional_data_identitas_b5.pdf
www.komnaspa.or.id
www.sman70jkt.sch.id
LAMPIRAN
Pedoman
Wawancara
1.
Apa yang menyebabkan informan melakukan school bullying?
2.
Bagaimanakah faktor lingkungan mempengaruhi informan
melakukan school bullying?
3.
Bagaimana faktor lingkungan menyebabkan informan
mendapatkan status lewat school bullying?
Transkrip
Wawancara
Informan
1
Tim Peniliti
|
Informan
|
Lo tinggal dengan siapa?
|
Tinggal bareng nyokap bokap di Tanjung Mas
Raya
|
Anak ke berapa?
|
Anak ke 2 dari 3 bersaudara.
|
Sifat bokap lo bagaimana?
|
Bokap sih santai gak santai, hehehe.. kalo
nyokap protektif banget. Hehe..
|
Pernah gak lo mengalami trauma saat masa
kecil?
|
Dulu gue pernah dipukulin bokap karena
mukulin temen di rumah. Hehehe…
|
Mengapa pilih SMAN 70 Jakarta Selatan?
|
Di suruh nyokap, gue sih ngikut aja.
|
Pernah ikut mos atau enggak?
|
Pernah
|
Takut gak sama senior?
|
Gue
takut banget sama senior pas jadi junior
|
Kenapa takut?
|
Takut dipukulin kalo punya masalah. Hehe…
|
Saat Mos, apa yang dilakukan senior ke lo?
|
Biasa aja pas mos formalitas gitu sama guru.
Setelah itu di kumpulin di suruh nongkrong karena di paksa sama senior,
abis itu di suruh ribut sama sekolah lain.
|
Bagaimana perasaan lo saat jadi junior?
|
Ngerasa
pas kelas satu hina
|
Apa pengaruh kejadian saat MOS dengan
kehidupan di sekolah lo?
|
Dendam sama yang ngegampar gue. Hehe..
|
Apa perasaan lo saat jadi senior?
|
Seneng banget. Hehe… Merasa berkuasa.
|
Apa yang dilakukan lo ke junior saat jadi
senior?
|
Pernah ngegampar
|
Apakah lo ngerasa bersalah saat melakukan
itu?
|
Gak merasah bersalah, karena gue merasa itu bagian
dari pendidikan. Hehe..
|
Bagaimana reaksi junior lo setelah kejadian
itu?
|
Reakasinya shock tapi mulai ada doktrin masuk, solidaritas. Setalah 3 kali di bilangin baru di gampar
|
Pernah ketahuan gak?
|
Selama ngebully gak pernah ketauan. Hehe..
|
Apa dasar lo melakukan bullying?
|
Ngelakuin perbuatan salah terus karena atas nama
solidaritas
|
Punya nama angkatan?
|
Punya.
Namanya Detasmen
|
Lo pernah tawuran gak?
|
Iya
|
Pernah ketangkap polisi gak?
|
Pernah ketangkep polisi di suruh jalan jongkok
|
Pernah kena apa aja?
|
Pernah kena gear sempat berfikir gak mau tawuran lagi
tapi kebawa suasana jadi mau tawuran lagi
|
Pernah kalah tawuran?
|
Pernah
|
Apa reaksi lo saat jadi senior?
|
Gue marah banget
|
Ada kejadian yang parah saat lo ngebully
junior?
|
Angakatan gua pernah nge bully junior gua pernah sampai
ada yang masuk rumah sakit gara gara ada kejadian
|
Kalo pas lo jadi junior?
|
Angaktan gua pernah ada yang sampai di opname
|
Gimana caranya kalo ada temen lo yang gak
solid?
|
Ada orang yang gak solidaritas biasanya di omongin gak
sampai di pukulin
|
Bagaimana budaya bullying di sekolah lo tetap ada?
|
Diwarisin
|
INFORMAN 2
Tinggal di mana?
|
lebak bulus bona indah dan sama orang
tua
|
Anak keberapa sih lu?
|
Anak ke dua dari tiga bersaudara
|
Kenapa sih milih sma 70 ?
|
Ehhm, beda aja sama sekolah yang lain
|
Apa bedanya?
|
Tau
|
Tau gak sih tradisi bullying di 70?
|
Sebenarnya parah sih, tapi apa namanya
bukan anak sekolah banget Cuma seru aja
|
Menurut lu gimana sih?
|
Takut ngeri
|
Serunya kayak gimana sih?
|
Yaa apa, ya kan setiap junior ke
seniornya kan takut, sangar-sangar seniornnya
|
Pas kelas satu lu takut sama senior
gak sih?
|
Pas nongkrong di apain aja? Nongkrong
yang ngobrol-ngobrol, ngerokok, ya biasa lah
|
Pas nongkrong pernah di bully gak?
|
Gak kok gak pernah
|
Pas kelas satu lu pernah di apain aja?
|
Di kolekin, terus di rejes haha
|
Rejes itu di apain sih?
|
Di jejerin terus di gamparin
|
Lu paling parah di apaain sih?
|
Hmm, paling parah ya gua di gampar
sihm, terus pernah sekali pas perkenalan utas yang titit gua di tending
|
Di tendang gara gara apa?
|
Emang lagi sesi di gamparin aja
|
Pas lu di tendang ada guru yang tau gak?
|
Gak ada yang tau
|
Biasanya lu di bully di mana aja sih?
|
Di mana aja sih sebenarnya, disini sih
si mendawai juga pernah
|
Lu kalo nongkrong dimana?
|
Kalo kelas satu di mendawai
|
Itu tongkrongannya beda beda kalo
kelas satu kelas dua?
|
Beda beda kalo kelas dua digor, kelas
tiga di lamandau sama halte
|
Di dalam sekolah juga pernah ada yang
di bully gak?
|
Di dalam sekolah juga, di kelas,
dikantin, di toilet sebenarnya dimana mana sih kelas satu itu
|
Guru gak ada yang tau?
|
Mungkn guru beberapa ada yang tau tapi
gak ngelakuin apa apa
|
Lu ngerasa gak lingkungan berpengaruh
sama tingkah laku lu yang sekarang?
|
Berpengaruh banget
|
Lu tau bullying dari mana?
|
Gua tau dari berita dan saudara gua
ada di sini juga
|
Lu pernah mau gak ikut ikutan sama hal
kyk gini?
|
Kalo gak ikut ikutan pas di gampar gua
sih mau, tapi kalo nongkrong nggak, nongkrong nongkrong aja
|
Pengaruh bullying lu berpengaruh dari
lingkungan juga gak, jadi gara gara lu di pukulin di tendangin lu pengen
ngebales gak?
|
Heem kalo pas waktu itu sih pengen gua
ngebales tapi habis itu mikir kan udah beda jaman juga pas gua jadi agit gua
gak ngebales
|
Bedanya sama anak anak yang gak ikut
nongkrong?
|
Bedanya ada gap aja antara yang ikut
nongkrong apa nggak
|
Lu ngerasa bangga gak pas ngelakuin
bullying?
|
Gak biasa aja
|
Lu paling parah ngelakuin apa aja ke
junior lu?
|
Ngegampar doang gua mah
|
Ngerasa bersalah gak pas ngelakuin
itu?
|
Ngerasa, habis sesi itu gua minta maaf
|
Pas lu di bullying lu ngerasa dendam
gak sama senior lu?
|
Kalo di bullyingnya tanpa sebab sih
dendam gua, kayak misalnya tiba tiba di suruh jongkok terus di tendang
|
INFORMAN 3
Anak ke berapa lu?
|
Anak ke 2 dari 3
|
Kenapa
memilih sma 70?
|
Gara
gara orang tua dan saudara gua alumni sini
|
Lu
tau gak ada tradisi bullying?
|
Gak
tau gua
|
Pas
kelas satu kehidupan di sekolah lu gimana
|
Awal
awalnya takut, pulang sekolah langsung pulang, tapi lama lama ngebaur juga
|
Yang
membuat lu nongkrong kenapa?
|
Gara
gara temen sekelas, kelas tiga, dan saudara gua katanya nongkrong aja gpp
|
Dendam gak lu sama
senior?
|
Di gampar, di sundut di kaki sama
pantat
|
Setelah
kejadian itu lu ngeliat senior gimana?
|
Gua
gak tau siapa yang nyundut, jadi
keadaanya merem dan di suruh jongkok gak boleh ada yang berdiri gara gara di
tendang gua otomatis kan berdiri terus gua kena di gampar, di tendang
|
Ada perasaan pengen
ngebales gak sih di luar sekolah?
|
Gua takut, nunduk kalo ngeliat senior
|
Pernah
kepikiran ngelapor guru gak sehabis lu di bully?
|
Gak
pernah, gak guna juga lapor ke guru
|
Kenapa
emang?
|
Ya
gua liat kedepannya mau jadi apa 70 kalo gua lapor ke guru
|
Tapi
pernah gak sih ada temen lu yang ngelapor ke guru terus di tindak keras sama
guru?
|
Pernah,
cewe paling
|
Tindakan
guru terus gimana?
|
Ya
manggil oknum oknum tersebut terus di tindak deh
|
Tempat
lu di bully dimana sih emang?
|
Di
lamandau
|
Tempatnya
kyk gimana sih?
|
Gelap
sama sepi
|
Di
bullynya kapan sih?
|
Kalau
malem di lamandau, kalo siang biasanya di rejes di mendawai, ke gor di bawa
keg or
|
Lu
jadi senior udah ngelakuin apa aja ke junior lu?
|
Gua
kalo main tangan jarang, kalo ada event event tertentu aja sih, misalnya
kayak dia punya salah ya gua pukul. Tapi ya juga gua tau bagai mana dulu
rasanya di pukul jadi ada rasa kasihan juga sih makanya gua meminimalisir
pukulan gua sih gak separah gua pas waktu dulu
|
Terus
apa lagi yang lu lakuin?
|
Gua
ngedoktrin anak kelas satu, jadi perintah gua bakal jadi tanggung jawab dia
untuk di lakuin
|
Contohnya?
|
Nongkrong,
tubir
|
Lu
ngerasa bersalah gak pas ngelakuin bullying?
|
Gua
ngelakuin itu juga pakai alas an kan dan gua ngelakuin itu niat gua gak buruk
buruk banget
|
Ketika
lu nongkrong lu ngapain apa selain ngerokok, contohnya kyk nyimeng gitu ada
gak?
|
Gak
ada
|
Lu
ngerasa keren gak pas ngelakuin bullying?
|
Gua
ngelakuin itu juga pakai alas an kan dan gua ngelakuin itu niat gua gak buruk
buruk banget
|
Pernah
ketangkep guru gak pas lu ngelakuin bullying?
|
Gak
pas kelas tiga gua gak pernah, tapi kelas satu gua pernah tapi pas jadi
korban
|
Lu
tau gak apa yang di lakukan guru pas senior lu ketangkep basah ngelakuin
bullying?
|
Ngasih
point paling kalo udah lebih dari 50 nanti di skorsing
|
Guru
pernah gak menghukum dengan cara fisik juga?
|
Pernah
pas sehabis tawuran di bubar bubarin padahal kita yang di serang kalo di
lihat itu bukan salah kita kan, kita kan di serang ya bela diri tapi malah
gurunya nendang nendang, cekek-cekek buat ngusir
|
Guru
berperan gak sih buat mencegah tawruran?
|
Gak
pernah kalo tawuran tapi kalo anak kelas satu yang nongkrong nongkrong sering
di usir usirin kan cikal bakal juga kan kelas satu yag bakal ngelanjutin gitu
jadi fokusnya di kelas satu
|
Tarus
pas di usir lu gimana?
|
Ya
diem aja kalo gurunya udah marah ya pergi tapi nanti balik lagi ke
tongkrongan
|
Orang
tua lu tau gak sih lu kalo lu tawuran dan ngelakuin bullying?
|
Tau
|
Orang
tua lu pernah di panggil gak gara gara hal itu?
|
Pernah
|
Dan
kasih advice apa?
|
Jadi
pas gua mau di rejes gua bilang, tapi orang tua gua gak bakal ngelapor ke
guru, ibaratnya orang tua gua udah terbuka asal gua nya gak terlalu kenapa
kenapa
|
[1] http://psma.kemdiknas.go.id/home/data/rekap_nasional_data_identitas_b5.pdf
[2] www.komnaspa.or.id
[3] www.detiknews.com
[4] SEJIWA
[5] Farrington, David, P. Understanding and Preventing School bullying.
The University of Chicago Press. 1993
[6]
http://edukasi.kompas.com/read/2011/10/27/14524275/.Bullying.di.SMA.X.Jakarta.Bukan.Aksi.Spontan
[7] Copes, H., Topalli, V.,
2009. Criminological Theory. New York : McGraw-Hill.
[8] Smith,. K. Peter, dkk, 2002. Definitions of Bullying: A Comparison of Terms
Used, and Age and Gender Differences, in a Fourteen-Country International
Comparison.
Blackwell Publishing.
[9] Beran., Tanya and Shapiro.,
Bonnie, 2005.
Evaluation of an Anti-Bullying Program:
Student Reports of Knowledge and Confidence toManage Bullying. Canadian
Society for the Study of Education
Stable.
[10] Farrington, David, P. Loc. Cit.
[11] Ma,. Xin, 2001. Bullying and Being Bullied: To What Extent
Are Bullies Also Victims?.
Amerika: American Educational Research Association
[12]
Akiba, Motoko, 2002. Student
Victimization: National and School System Effects on School Violence in 37
Nations.
Amerika: American Educational Research Association
[13]
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/aktualisasi_diri/bab2-proses_perkembangan_manusia.pdf
[14] Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak
[16] Jurnal Psikologi Sosial 12 (01),
2005 : 1-13)
[17] Copes, H., Topalli. Loc. Cit.
[18] Cohen, A.K. (1995a) Juvennile Delinquency and the Social
Structure, Ph.D. Thesis. Harvard University.
[19] Shaw, C.R., dan H. McKay.
(1942), Juvennile Delinquency and Urban
Areas. Chicago: University of Chicago Press.
[20] Suyanto, Bagong. (2005). Metode
Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan, Kencana, Jakarta.
[21] Akiba, Motoko. Loc. Cit.
[22]http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/aktualisasi_diri/bab2proses_perkembangan_manusia.pdf
[23] Shaw, C.R., dan H. McKay. Loc. Cit.
[24] Cohen, A.K. Loc. Cit.
[25] Smith,. K. Peter, dkk. Loc. Cit.
[26]
Akiba, Motoko. Loc. Cit.
[27]
ibid
0 comments:
Posting Komentar