Recent News

Rabu, 16 Mei 2012

Review Makalah Sistem Sosial Indonesia: Pemanasan Global


Nama              : Kahfi Dirga Cahya
NPM               : 1106084280
Mata Kuliah  : Sistem Sosial Indonesia
Jurusan          : Kriminologi
            Cuaca buruk dan gejala alam diyakini sebagai efek dari pemanasan global. Hal ini dapat ditemukan di hampir sebagian wilayah Indonesia. Pada dasarnya, pemanasan global dihasilkan dari meningkatnya konsentrasi gas-gas yang membentuk efek rumah kaca pada lapisan atmosfer, seperti karbondioksida (CO2), dinitrogen oksida (N2O), metan (CH4), nitrogen oksida
(NO), sulfur hexaflorida(SF6), chlore flour carbon (CFC), dan hydro flour carbon
(HFC). Gas-gas ini diperkira kan berasal dari aktivitas kotor pabrik yang semakin merajalela di tiap negara, dimana mereka tidak sempurna membuang limbah hasil produksi pabrik.
            Namun dilain hal, konsumsi besar-besaran terhadap energi diyakini inti dari kompleksitas masalah pemanasan global. Indonesia dalam perkembangannya memiliki catatan yang sangat buruk dalam mengonsumsi energi yang berbahan bakar fosil sebagai sumbernya. Hal ini diperparah dengan belum bisanya teratasi kompleksitas masalah ini. Baik negara maju ataupun negara berkembang dinilai belum bisa berkompeten untuk memberikan solusi, malah cenderung kembali merusak.
            Sejalan dengan pernyataan terakhir di atas, tumbuhan yang notabennya – berfungsi menyerap karbondioksida (CO2) dan mengubahnya menjadi oksigen (O2) serta memberikan solusi untuk mengatasi efek gas rumah kaca malah memperlihatkan fakta yang sangat miris. Tercatat sekitar 2,2juta laju kerusakan hutan per tahunnya menurut Forest Watch Indonesia (2001). Hal ini diperparah dengan kerusakan yang diakibatkan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan membuat perkebunan seperti kelapa sawit.
            Pada dasarnya Indonesia memiliki hutan yang sangat luas, sehingga pernah dijuluki sebagai paru-paru dunia. Namun di dalam perkembangannya hutan Indonesia mengalami penyusutan. Hal ini dikarenakan penebangan yang tidak melakukan reboisasi di wilayah penebangan. Permasalahan ini bukan hanya akibat penebangan illegal namun juga karena penebangan legal. Pengawasan yang lemah dari pemerintah terhadap hutan Indonesia serta aktivitas penebangan digadang-gadang menjadi penyebab terkikisnya hutan Indonesia.
            Terkikisnya hutan di dunia umunya dan Indonesia khususnya memiliki dampak yang sangat besar. Jika mengacu pada data yang dikeluarkan oleh Nasa (2010),       suhu bumi saat 126 tahun yang lalu sangatlah dingin dan berbanding terbalik dengan suhu bumi yang terjadi di tahun 2010. Selain itu, dampak yang nyata adalah penaikan permukaan air laut. Sehingga terkikisnya daratan di pantai. Lebih dari itu, perubahan cuaca yang ekstrem juga merupakan dampak yang dinilai sangat berat.
            Pada prinsipnya kehidupan di bumi sangat lah memerlukan penyelarasan. Pembangunan berkelanjutan yang digawangi oleh Prof. Emil Salim memerlukan keselarasan antara sumber daya alam dan sumber daya manusia. Konsep ini mendaptkan dukungan yang besar dari Ismid Hadad yang menganggap pembangunan berkelanjutan memiliki peran yang penting sebagai upaya dalam menghadapi pemanasan global. Pembangunan berkelanjutan sendiri dapat dibedakan menjadi dua aspek, yaitu mitigasi dan adaptasi.
            Jika kita mengakitkan dengan integrasi sosial yang digagas oleh Paulus Wirutomo, sangatlah tepat jika kita menggolongkan hubungan antara manusia dan alam adalah inegrasi fungsional. Dimana keduanya memiliki peran tersendiri. Namun dalam praktiknya, kita tidak melihat berjalan lancarnya fungsi tersebut. Manusia dianggap mengusung kepentingan lain dengan melakukan pembalakan hutan secara besar-besaran tanpa adanya reboisasi.
            Melihat fakta di Indonesia dengan mengambil satu dari banyak hutan di Indonesia, yaitu Pulau Siberut. Pulau Siberut yang terletak di Kepulauan Mentawai dengan luasnya sekitar 403.00 hektare dianggap memiliki kekayaan biodiversiti yang tak ternilai. Terdapat banyak flora dan fauna endemic yang tidak ditemukan di tempat lain namun ada di Siberut. Namun pahitnya, sejumlah populasi baik flora maupun fauna mulai merosot jumlahnya. Hal ini diperkirakan karena penebangan hutan besar-besaran di Siberut.
            Pemerintah dalam hal ini belum dianggap cepat tanggap untuk menyelesaikan kasus yang terjadi secara berulang. Sehingga muncul tanggapan miring yang mengasumsikan pemerintah bermain dengan perusahaan untuk memanfaatkan hutan sebesar-besarnya tanpa adanya penaggulangan ataupun reboisasi. Hal ini terjadi karena menurut data bahwa nilai ekonomis kayu  pada pembalakan hutan lebih kecil dari pada fungsi ekologis dan nilai hutan non-kayu (NTFP), yaitu Rp. 662,252,983,366 berbanding dengan Rp. 1,435,481,335,616. Angka-angka inilah yang dianggap sebagai penyebabnya terus meningkatnya kasus pembalakan liar.
            Pada prinsipnya, kasus pembalakan liar ini merupakan dampak dari lemahnya pengawasan pemerintah terhadap perizinan penebangan. Pemerintah seharusnya memberikan pengawasan lebih terhadap aktivitas yang terjadi saat penebangan. Hal ini bisa dilakukan dengan menambah personil polisi hutan. Sehingga dengan bertambahnya polisi hutan diperkirakan dapat menekan laju pembalakan yang semakin liar dan cepat. Selain itu pemerintah juga harus melakukan peraturan yang ketat terhadap reboisasi yang harus dilakukan perusahaan. Solusi ini dianggap sebagai pengembalian bumi seperti sediakala dan menekan pemanasan global.
           
 Source:
Hidayat, A, T. dkk,. "Pemanasan Global". Makalah: (2012)            

0 comments:

Posting Komentar

Open Panel

Label

Blogroll

Labels