Nama : Kahfi Dirga Cahya
NPM :
1106084280
Mata Kuliah : Sistem Sosial Indonesia
Jurusan : Kriminologi
Cuaca
buruk dan gejala alam diyakini sebagai efek dari pemanasan global. Hal ini
dapat ditemukan di hampir sebagian wilayah Indonesia. Pada dasarnya, pemanasan
global dihasilkan dari meningkatnya konsentrasi gas-gas yang membentuk efek
rumah kaca pada lapisan atmosfer, seperti karbondioksida (CO2), dinitrogen
oksida (N2O), metan (CH4), nitrogen oksida
(NO), sulfur hexaflorida(SF6), chlore flour carbon (CFC), dan hydro flour carbon
(HFC). Gas-gas ini diperkira kan berasal dari aktivitas kotor pabrik yang semakin merajalela di tiap negara, dimana mereka tidak sempurna membuang limbah hasil produksi pabrik.
(NO), sulfur hexaflorida(SF6), chlore flour carbon (CFC), dan hydro flour carbon
(HFC). Gas-gas ini diperkira kan berasal dari aktivitas kotor pabrik yang semakin merajalela di tiap negara, dimana mereka tidak sempurna membuang limbah hasil produksi pabrik.
Namun dilain hal, konsumsi
besar-besaran terhadap energi diyakini inti dari kompleksitas masalah pemanasan
global. Indonesia dalam perkembangannya memiliki catatan yang sangat buruk
dalam mengonsumsi energi yang berbahan bakar fosil sebagai sumbernya. Hal ini
diperparah dengan belum bisanya teratasi kompleksitas masalah ini. Baik negara
maju ataupun negara berkembang dinilai belum bisa berkompeten untuk memberikan
solusi, malah cenderung kembali merusak.
Sejalan dengan pernyataan terakhir
di atas, tumbuhan yang notabennya – berfungsi menyerap karbondioksida (CO2) dan
mengubahnya menjadi oksigen (O2) serta memberikan solusi untuk mengatasi efek
gas rumah kaca malah memperlihatkan fakta yang sangat miris. Tercatat sekitar
2,2juta laju kerusakan hutan per tahunnya menurut Forest Watch Indonesia
(2001). Hal ini diperparah dengan kerusakan yang diakibatkan pemegang Hak
Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan membuat
perkebunan seperti kelapa sawit.
Pada
dasarnya Indonesia memiliki hutan yang sangat luas, sehingga pernah dijuluki
sebagai paru-paru dunia. Namun di dalam perkembangannya hutan Indonesia mengalami
penyusutan. Hal ini dikarenakan penebangan yang tidak melakukan reboisasi di
wilayah penebangan. Permasalahan ini bukan hanya akibat penebangan illegal namun
juga karena penebangan legal. Pengawasan yang lemah dari pemerintah terhadap
hutan Indonesia serta aktivitas penebangan digadang-gadang menjadi penyebab
terkikisnya hutan Indonesia.
Terkikisnya hutan di dunia umunya
dan Indonesia khususnya memiliki dampak yang sangat besar. Jika mengacu pada
data yang dikeluarkan oleh Nasa (2010), suhu
bumi saat 126 tahun yang lalu sangatlah dingin dan berbanding terbalik dengan
suhu bumi yang terjadi di tahun 2010. Selain itu, dampak yang nyata adalah
penaikan permukaan air laut. Sehingga terkikisnya daratan di pantai. Lebih dari
itu, perubahan cuaca yang ekstrem juga merupakan dampak yang dinilai sangat
berat.
Pada prinsipnya kehidupan di bumi
sangat lah memerlukan penyelarasan. Pembangunan berkelanjutan yang digawangi
oleh Prof. Emil Salim memerlukan keselarasan antara sumber daya alam dan sumber
daya manusia. Konsep ini mendaptkan dukungan yang besar dari Ismid Hadad yang
menganggap pembangunan berkelanjutan memiliki peran yang penting sebagai upaya
dalam menghadapi pemanasan global. Pembangunan berkelanjutan sendiri dapat dibedakan
menjadi dua aspek, yaitu mitigasi dan adaptasi.
Jika kita mengakitkan dengan
integrasi sosial yang digagas oleh Paulus Wirutomo, sangatlah tepat jika kita
menggolongkan hubungan antara manusia dan alam adalah inegrasi fungsional. Dimana
keduanya memiliki peran tersendiri. Namun dalam praktiknya, kita tidak melihat berjalan
lancarnya fungsi tersebut. Manusia dianggap mengusung kepentingan lain dengan
melakukan pembalakan hutan secara besar-besaran tanpa adanya reboisasi.
Melihat fakta di Indonesia dengan
mengambil satu dari banyak hutan di Indonesia, yaitu Pulau Siberut. Pulau
Siberut yang terletak di Kepulauan Mentawai dengan luasnya sekitar 403.00
hektare dianggap memiliki kekayaan biodiversiti yang tak ternilai. Terdapat
banyak flora dan fauna endemic yang tidak ditemukan di tempat lain namun ada di
Siberut. Namun pahitnya, sejumlah populasi baik flora maupun fauna mulai
merosot jumlahnya. Hal ini diperkirakan karena penebangan hutan besar-besaran
di Siberut.
Pemerintah dalam hal ini belum
dianggap cepat tanggap untuk menyelesaikan kasus yang terjadi secara berulang.
Sehingga muncul tanggapan miring yang mengasumsikan pemerintah bermain dengan
perusahaan untuk memanfaatkan hutan sebesar-besarnya tanpa adanya penaggulangan
ataupun reboisasi. Hal ini terjadi karena menurut data bahwa nilai
ekonomis kayu pada pembalakan hutan
lebih kecil dari pada fungsi ekologis dan nilai hutan non-kayu (NTFP), yaitu
Rp. 662,252,983,366 berbanding dengan Rp. 1,435,481,335,616. Angka-angka inilah
yang dianggap sebagai penyebabnya terus meningkatnya kasus pembalakan liar.
Pada prinsipnya, kasus pembalakan
liar ini merupakan dampak dari lemahnya pengawasan pemerintah terhadap
perizinan penebangan. Pemerintah seharusnya memberikan pengawasan lebih
terhadap aktivitas yang terjadi saat penebangan. Hal ini bisa dilakukan dengan
menambah personil polisi hutan. Sehingga dengan bertambahnya polisi hutan
diperkirakan dapat menekan laju pembalakan yang semakin liar dan cepat. Selain
itu pemerintah juga harus melakukan peraturan yang ketat terhadap reboisasi
yang harus dilakukan perusahaan. Solusi ini dianggap sebagai pengembalian bumi
seperti sediakala dan menekan pemanasan global.
Source:
Hidayat, A, T. dkk,. "Pemanasan Global". Makalah: (2012)
0 comments:
Posting Komentar