oleh
Kahfi Dirga Cahya, 1106084280
Kasus :
Tuti
hamil di luar nikah. Keluarga Tuti merupakan keluarga terpandang, dan akan
menanggung malu jika ada salah satu anggota keluarga ada yang hamil di luar
nikah. Menikah atau tidak ?
Pembahasan
:
Ada tiga perspektif yang akan
dibahas untuk mengkaji kasus Tuti ini. Tiga perspektif ini akan mengkaji satu –
persatu kulit serta nilai dari tiap objek perspektif.
Perspektif pertama ialah hamil di
luar nikah merupakan perilaku menyimpang dari konteks sosial masyarakat. Karena
pada dasarnya, hamil akan dialami oleh wanita yang sudah bersuami. Jika
tindakan yang dianggap amoral tersebut terjadi di sekitar masyarakat, maka akan
ada sanksi sosial dari masyarakat. Dari sisi pandangan masyarakat sendiri,
hamil di luar nikah diartikan sesuatu yang dianggap melanggar norma – norma dari
masyarakat. Pengertian ini terbentuk karena budaya timur di Indonesia telah
kental menyatu dengan norma – norma masyarakat. Namun, lebih dari itu hal ini
mengakibatkan rusaknya nilai – nilai etika, baik individu maupun nilai di
masyarakat itu sendiri.
Etika sendiri merupakan ilmu tentang
adat kebiasaan (Bertens, 2007:4). Jika dikaitkan dengan persoalan di atas,
tentang tindakan menyimpang dari konteks sosial masyarakat atau yang berarti
hamil di luar nikah, teori ini menjadi pendukung untuk mengkaji lebih dalam
keterkaitan antara etika dan hamil di luar nikah. Adat kebiasaan mengartikan
sesuatu yang sudah luhur eksistensinya dalam satu ruang lingkup, dalam hal ini
masyarakat. Keberadaan adat sendiri dalam kebiasaan, mengartikan nilai – nilai
yang terkandung sekaligus pemandu arah dari kekuatan nilai teori ini. Sedangkan
kebiasaan suatu hal yang menjadi luhur dan terjadi terus – menerus tanpa ada
mata rantai yang putus atau keluar.
Hamil di luar nikah bukanlah adat
kebiasaan. Hal ini dikarenakan tindakan tersebut tidak menjadi kebiasaan dalam
sosial masyarakat. Maka, perlu ada sanksi sosial masyarakat dari perilaku ini.
Berkaitan dengan itu, social force
juga harusnya menjadi bahan pertimbangan dalam kajian kasus ini. Garis
besarnya, social force berfungsi
dalam mengatur nilai – nilai dalam masyarakat. Pada intinya, dalam teori adat
kebiasaan, keberadaan perilaku ini secara tidak langsung menciderai nilai –
nilai etika luhur yang terbentuk.
Perspektif kedua berdasarkan latar
belakang keluarga Tuti sendiri. Secara umum sudah dijelaskan bahwasanya
keluarga Tuti merupakan keluarga terpandang dan akan menanggung malu jika ada
anggota keluarga yang hamil di luar nikah. Etika sebagai ilmu dapat diartikan
sebagai pengetahuan yang membantu seseorang untuk mencari orientasi dan
mentapkan cara – cara bertindak dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian,
seseorang tidak hidup dengan cara ikut – ikutan saja dengan berbagai kalangan,
tetapi memiliki pedoman yang diikuti dan sesuai dengan pilihan hati nurani dan
dapat mempertanggungjawabkannya (Magniz-Suseno, 1987:14). Jika dilihat dari
kasus Tuti, maka ada benturan antara pedoman dan pilihan hati nurani.
Dalam hal kasus ini, Tuti gagal
menyelaraskan antara pedoman dan pilihan hati nurani. Pedoman sendiri
berpengaruh besar dalam menentukan dasar – dasar perilaku. Sedangkan, pilihan
hati nurani berfungsi mengikut sertakan nurani dalam pengambilan sebuah
keputusan. Sayangnya, Tuti tidak melihat adanya potensi benturan antara
keduannya. Arti benturan dalam kasus ini ialah, Tuti berpedoman teguh terhadap
nilai – nilai dari keluarga, namun di lain sisi ia tidak memperhatikan itu saat
ia memilih perilaku menyimpang dengan hati nurani. Tuti sendiri belum bisa
mempertanggungjawabkannya dalam kasus ini.
Perspektif ketiga ialah berlandaskan
pilihan menikah atau tidak menikah. Sebenarnya, permasalahan ini lebih
menekankan kepada tindakan preventif dari keluarga atau individu. Menikah atau
tidak menikah hanyalah sebuah penyelesaian tidak berujung yang diprediksi akan
memberikan masalah baru. Intinya, keluarga atau individu harus berperan penting
dalam tindakan preventif agar perilaku penyimpang ini tidak terjadi.
0 comments:
Posting Komentar