MAKALAH
TINJAUAN
PERSPEKTIF HAM DALAM PLURALISME AGAMA DI INDONESIA
Diajukan untuk :
Memenuhi Ujian Akhir
Semester Mata Kuliah Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Kriminologi
Diusulkan oleh :
Kahfi Dirga Cahya,
1106084280, Kriminologi Paralel 2011
FAKULTAS ILMU SOSIAL
DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2012
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Sebagai negara kepulauan, Indonesia
memiliki keragaman dari sisi kebudayaan dan tak terkecuali agama asli
nusantara. Namun lebih dari itu, Indonesia juga dianggap sebagai negara yang
paling subur dalam perkembangan agama lintas benua. Sejalan dengan itu, Pulau
Jawa pernah disebut sebagai “Le carrefour
javanis” atau “Perempatan Jawa” oleh Sejarawan asal Perancis, Denys
Lombard. Hal ini dikarenakan menurut Lombard secara geografis banyak kebudayaan
bertemu di Pulau Jawa.[1]
Dari pertemuan tersebut Hefner juga mengatakan Pulau Jawa sebagai “persilangan
budaya” yang mempertemukan lima agama besar dunia, yaitu hinduisme, budhisme,
Islam, katolisisme, dam protestantisme.[2]
Pluralitas agama merupakan sisi lain dari Indonesia yang memiliki banyak ragam budaya. Kekayaan dari sisi ini dijadikan sebagai daya tarik Indonesia dalam banyak pembahasan. Sebagai konsekuensinya banyak dari masyarakat Indonesia menjadi lebih kritis dan sensitif jika berbicara tentang isu agama. Maka dalam perkembangan pluralitas agama lebih sering ditemukan konflik ketimbang pembicaraan hangat dan terstruktur tentang isu pluralitas. Seperti ditemukan dalam kasus Ambon pada Januari 1999 yang melibatkan dua agama besar di Indonesia yaitu Islam dan Kristen. Isu ini berawal dari pemalakan yang dilakukan oleh pemuda Islam asal Bugis yang sering mabuk-mabukan kepada pemuda Kristen beberapa kali ketika mengendarai angkot jurusan Mardika – Batu Merah. Merasa tidak senang keduanya malah menciptakan isu dan memanaskan suasana, sehingga muncul kerusuhan yang mengakibatkan banyak jatuhnya korban jiwa dari kedua belah pihak.[3]
Pluralitas agama merupakan sisi lain dari Indonesia yang memiliki banyak ragam budaya. Kekayaan dari sisi ini dijadikan sebagai daya tarik Indonesia dalam banyak pembahasan. Sebagai konsekuensinya banyak dari masyarakat Indonesia menjadi lebih kritis dan sensitif jika berbicara tentang isu agama. Maka dalam perkembangan pluralitas agama lebih sering ditemukan konflik ketimbang pembicaraan hangat dan terstruktur tentang isu pluralitas. Seperti ditemukan dalam kasus Ambon pada Januari 1999 yang melibatkan dua agama besar di Indonesia yaitu Islam dan Kristen. Isu ini berawal dari pemalakan yang dilakukan oleh pemuda Islam asal Bugis yang sering mabuk-mabukan kepada pemuda Kristen beberapa kali ketika mengendarai angkot jurusan Mardika – Batu Merah. Merasa tidak senang keduanya malah menciptakan isu dan memanaskan suasana, sehingga muncul kerusuhan yang mengakibatkan banyak jatuhnya korban jiwa dari kedua belah pihak.[3]
Secara
sosiologis, pluralisme agama adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah
berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal beragama.[4]
Selain itu, menurut Rasjidi, umat beragama sulit berbicara objektif dalam soal
keagamaan, karena manusia dalam keadaan involved
(terlibat). Sebagai seorang muslim misalnya, ia menyadari sepenuhnya bahwa ia involved
(terlibat) dengan Islam.[5]
Namun, Rasjidi mengakui bahwa
dalam kenyataan sejarah masyarakat adalah multi-complex(multi
kompleks) yang mengandung religious
pluralism(pluralisme agama), bermacam-macam agama. Hal ini adalah realitas,
karena itu mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri, dengan mengakui adanya pluralisme agama dalam
masyarakat Indonesia.[6]
1.2 Permasalahan
Hak asasi manusia (HAM) memberikan peranan penting dalam perkembangan pluralitas di Indonesia. Konsep HAM yang erat dengan proses pemilihan sesuatu berdasarkan timbangan diri menjadi komponen pendukung utama dalam isu pluralitas. Hal ini diyakini karena pluralitas tidak lagi menjadi objek, melainkan subjek dalam penerapannya. Kemajuan tingkat intelektualitas juga memiliki peranan penting. Terlebih lagi isu pluralitas agama merupakan hal yang cukup sensitif.
Dalam perkembangannya Pluralitas Agama mendapatkan berbagai kecaman dan kritikan keras dari berbagai pemuka agama. Konsep ajaran yang dianut Pluralitas dimana menganggap kebenaran yang absolut untuk semua agama, nyatanya malah memancing reaksi. Ketegangan ini menimbulkan berbagai perspektif untuk menciptakan satu konsesus tersendiri. Banyak yang menganggap pluralitas agama adalah sebuah tantangan dan harapan namun di sisi lain banyak yang menganggap bahwa pluralisme agama adalah sebuah agama baru.
Secara kritis kita dituntut untuk memahami kedua belah pihak tanpa bermaksud untuk menciderai keyakinan dan keutuhan konsep dari masing-masing perspektif. HAM dalam hal ini menjadi satu materi pendukung untuk membuka tabir. Satu jalan tengah yang dianggap dapat menjembatani keduanya untuk menemukan titik terang.
1.2 Permasalahan
Hak asasi manusia (HAM) memberikan peranan penting dalam perkembangan pluralitas di Indonesia. Konsep HAM yang erat dengan proses pemilihan sesuatu berdasarkan timbangan diri menjadi komponen pendukung utama dalam isu pluralitas. Hal ini diyakini karena pluralitas tidak lagi menjadi objek, melainkan subjek dalam penerapannya. Kemajuan tingkat intelektualitas juga memiliki peranan penting. Terlebih lagi isu pluralitas agama merupakan hal yang cukup sensitif.
Dalam perkembangannya Pluralitas Agama mendapatkan berbagai kecaman dan kritikan keras dari berbagai pemuka agama. Konsep ajaran yang dianut Pluralitas dimana menganggap kebenaran yang absolut untuk semua agama, nyatanya malah memancing reaksi. Ketegangan ini menimbulkan berbagai perspektif untuk menciptakan satu konsesus tersendiri. Banyak yang menganggap pluralitas agama adalah sebuah tantangan dan harapan namun di sisi lain banyak yang menganggap bahwa pluralisme agama adalah sebuah agama baru.
Secara kritis kita dituntut untuk memahami kedua belah pihak tanpa bermaksud untuk menciderai keyakinan dan keutuhan konsep dari masing-masing perspektif. HAM dalam hal ini menjadi satu materi pendukung untuk membuka tabir. Satu jalan tengah yang dianggap dapat menjembatani keduanya untuk menemukan titik terang.
BAB 2
KERANGKA KONSEPTUAL
Perspektif
Pluralis
Perspektif Pluralis adalah suatu
pandangan yang mengakui adanya perbedaan-perbedaan kelompok dan juga
perbedaan-perbedaan nilai dan kepentingan. Perbedaan antara suatu kelompok
sosial dengan kelompok yang lainnya terletak pada sengketa tentang benar dan tidak
benar. Pasangan
dari perspektif ini adalah Paradigma
Interaksionis, yang menitikberatkan pada keragaman psikologi-sosial dari
kehidupan manusia. [Simecca dan
Lee (dikutip daro Robert F. Mejer, 1977, p. 21)][7]
Pasal
18 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia
Setiap orang berhak atas kebebasan
pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama
atau kepercayaan, dengan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaann
dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan mentaatinya, baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.[8]
Pluralisme
Agama
Gagasan pertama
pluralisme agama dimulai dari kenyataan awal bahwa dunia berisi beberapa agama
yang memiliki perbedaan gagasan sebagai perbedaan kenyataan. Pluralisme agama
menganggap tidak semua perbedaan pandangan adalah benar. Selain itu mereka juga berpendapat tidak semua
perbedaan pandangan tentang nasib manusia adalah kebenaran absolut.[9]
Pluralisme
Logis
Beal dan Greg mengkritik
filosofi logika kontemporer yang menganggap bahwa hanya terdapat satu
kebenaran. Bagi mereka jika memakai logika terdapat banyak kebenaran yang
sesungguhnya, hal ini disebut mereka sebagai Logical Pluralism (Pluralisme Logis). Selain itu juga terdapat beberapa perbedaan logika
formal, yang terbagi dalam logika klasik, logika relevan, logika intuisi,
dimana masing-masing dari logika tersebut memiliki tempat masing-masing dalam
perumusan dan pengaturan kesimpulan.[10]
Pandangan
Berbagai Agama Tentang Pluralisme Agama
Dalam buku Husaini Adian yang
berjudul “Pluralisme Agama; Musuh Agama – Agama (Pandangan Katolik, Protestan,
Hindu, dan Islam terhadap paham Pluralisme Agama)” dijelaskan bahwa pluralisme agama merupakan tindakan yang menganggap semua ajaran
melewati jalan sama untuk Tuhan yang sama pula. Katolik lewat Vatikan pada
tahun 2000 menerbitkan penjelasan “Dominus Jesus”, yaitu pandangan untuk
menolak pluralism agama. Protestan memiliki dua pandangan terhadap isu ini, hal
ini dikarenakan sebagian dari pemuka agamanya mendukung paham pluralisme agama,
sedangkan sebagian yang tidak mendukung menyebut pluralisme agama sebagai
“Teologi Abu-Abu”. Kaum Hindu yang menganggap adanya pluralisme biasanya
memakai “Metafora Gunung”, sedangkan yang menolak menyebutnya sebagai
“Universalisme Radikal”. Sedangkan Islam juga terpecah dalam dua sisi, yang
mendukung pluralisme menganggap bahwa semua agama sama saja, semua menuju
kebenaran dan Islam bukanlah yang paling benar dan yang tidak mendukung
menganggap bahwa Pluralisme Agama adalah haram (Fatwa, MUI 2005).[11]
BAB 3
PEMBAHASAN
Seratus tahun
yang lalu tidak ada seorang pun menyebut atau menulis tentang pluralisme agama.
Hanya ditemukan istilah convivencia (bahasa Spanyol untuk co-existence
atau hidup bersama dengan rukun damai), toleration atau tolerance
(dari bahasa Latin tolero, tolerare yang artinya membawa, memanggul,
menanggung, menahan (to carry, bear, endure, sustain; to support, keep up,
maintain). Pada dasarnya tidak jelas siapakah yang pertama kali mengagas
istilah pluralisme agama, paham ini dikembangkan oleh sejumlah pemikir Kristen
mutakhir, yaitu Raimundo Panikkar seorang pastor Katholik kelahiran Sepanyol
yang ayahnya beragama Hindu), Wilfred Cantwell Smith (mantan pengarah Institute
of Islamic Studies di McGill University Canada), Fritjhof Schuon (mantan
Kristen yang pergi mengembara keluar masuk pelbagai macam agama) dan John Hick
(profesor teologi di Claremont Graduate School California USA).[12]
Pada 29 juli
2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat menerbitkan keputusan fatwa (Nomor
7/MUNAS VII/MUI/II/2005) berkenaan pluralisme, liberalisme dan sekularisme.
Ditegaskan bahwa haram hukumnya bagi Umat Islam menganut atau mengikuti
paham-paham keliru tersebut.[13]
Sontak hal ini mengundang sisi pro dan kontra dari berbagai kalangan ulama di
Indonesia. Keputusan MUI dianggap gegabah dan cenderung berpihak kepada satu
sumber.
Berkenaan dengan
itu, jika kita melihat dari konteks HAM yang merupakan hak-hak yang dipunyai
oleh semua orang sesuai dengan kondisi yang manusiawi,[14]
sebenarnya pluralisme dapat diartikan sebagai representasi lain dari ekspresi
manusia untuk menghadap Tuhan. Sebagaimana Nurcholis Madjid mengatakan:
”Petunjuk
konkret lain untuk memelihara ukhuwah adalah tidak dibenarkannya sama sekali
suatu kelompok dari kalangan orang-orang beriman untuk memandang rendah atau
kurang menghargai kelompok lainnya, sebab siapa tahu mereka yang dipandang
rendah itu lebih baik daripada mereka yang memandang rendah. Ini mengajajarkan
kita –dalam pergaulan dengan sesama manusia, khususnya sesama kalangan yang
percaya kepada Tuhan—tidak melakukan absolutisme, suatu pangkal dari segala
permusuhan.”[15]
Melihat
penjelasan di atas kita dapat sedikit membuka langkah awal dimana pluralisme
agama juga mengajarkan sebuah perspektif kesetaraan diantara sesama manusia.
Dimana kita harus menghormati kelompok agama lain yang notabennya – juga berisi
manusia. Sejalan dengan itu, hal tersebut juga sesuai dengan pasal 18 pada
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.[16]
Menegaskan
kembali bahwa dalam hal ini pluralisme agama memiliki acuan pada semangat
perspektif pluralis. Sebuah pandangan yang menekankan perbedaan dan menentang
absolutisme. Selain itu, mereka berpendapat perbedaan
antara suatu kelompok sosial dengan kelompok yang lainnya terletak pada
sengketa tentang benar dan tidak benarnya
. Sebagaimana yang terjadi dalam konflik pluralisme agama yang terlihat pada
ketegangan antara keyakinan kebenaran yang dimiliki masing-masing dari sisi.
Secara logika
dapat dikatakan bahwa konsep pluralisme agama dapat diterima secara baik. Hal
ini dikarenakan keyakinan dan realistis yang memperlihatkan bahwa semua agama
sebenarnya adalah mengajarkan kebenaran. Dimana konsep pluralisme agama
menekankan bahwa Tuhan Maha Adil, dalam artian Dia pasti akan membalas setiap
perbuatan baik atau buruk yang dilakukan oleh umatnya.
Kembali pada
sisi HAM, sebenarnya pluralisme agama merupakan sebuah jawaban dari keragaman
yang sering dijadikan permasalahan. HAM dalam hal ini memberikan kontribusi
untuk memberikan titik tengah, sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam pasal 18
Deklarasi HAM. Namun dalam prosesnya, kebenaran absolut dan al-hanîfiyyah
al-samhah[17] adalah sebuah kearifan yang dapat berjalan
berdampingan.
BAB 4
KESIMPULAN
Dalam proses
perdebatannya, pluralisme agama telah berulang kali mendapatkan artian secara
berbeda dari beberapa ahli, tidak terkecuali Gus Dur, yang notabennya – sebagai
cendikiawan muslim. Pluralisme
yang ditekankan Gus Dur adalah pluralisme dalam bertindak dan berpikir. Inilah
yang melahirkan toleransi. Sikap toleran tidak bergantung pada tingginya
tingkat pendidikan formal atau pun kepintaran pemikiran secara alamiah, tetapi
merupakan persoalan hati, persoalan perilaku. Tidak pula harus kaya dulu. Bahkan,
seringkali semangat ini terdapat justru pada mereka yang tidak pintar juga tidak kaya, yang biasanya
disebut “orang-orang terbaik”.[18]
Hal diatas
jika kita melihat dari perspektif HAM sangatlah tepat, dimana sikap toleran
yang dimunculkan tidak hanya selalu dari orang-orang yang memiliki tingkat
pendidikan formal tinggi, melainkan seluruh kalangan masyarakat. Acuan ini
menjadikan titik tolak dalam memahami absolutisme yang seringkali memicu
konflik. Dimana konsep ekslusivisme menjadi corong dari sebuah konflik yang
mengatasnamakan agama. Pemikiran dasar yang memberikan sebuah perspektif baru
dalam dunia agama, bahwa sesungguhnya pluralisme agama merupakan gambaran akan
carut marut konflik atas nama agama.
DAFTAR PUSTAKA
Abas, Zainul. Hubungan Antar Agama di Indonesia: Tantangan
dan Harapan. Di unduh pada tanggal 26 Mei 2012.
Arif,
Syamsudin. Pluralisme di Indonesia: Paham
dan Amalan. Disampaikan dalam Wacana
Membanteras Gerakan Pluralisme Agama Dan Pemurtadan Ummah: 14 Desember 2010
Beal, JC dan Greg,
Restall. Logical Pluralism. Jurnal 28
Maret, 2000.
Deklarasi
Universal Hak-Hak Asasi Manusia yang diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum
PBB pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III)
Greg
Barton, Gagasan Islam Liberal di
Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effeni, Ahmad
Wahib dan Abdurrahman Wahid, pent.
Nanang Tahqiq (Jakarta : Paramadina, 1999), cet. I.
Hefner, Robert W. Agama: Berkembangnya Pluralisme. Dalam Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi,
Maysarakat Transisi, di rubah oleh Donald K. Emerson. Jakarta, Gramedia
Pustaka Utama dan The Asia Foundation, 2001a.
Husaini, Adian. Pluralisme Agama; Musuh Agama – Agama
(Pandangan Katolik, Protestan, Hindu, dan Islam terhadap paham Pluralisme
Agama). Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia. 2010.
Kuper, Adam
dan Kuper, Jessica. Ensiklopedi Ilmu-Ilmu
Sosial. Jilid I. Jakarta: Rajawali Press. 200. Hal 464.
Lombard, Denys. Nusa Jawa Silang Budaya. Jakarta: Gramedia, 1996.
M.
Rasjidi, Al-Djami’ah, Nomor Khusus,
Mei 1968 Tahun ke VIII, hlm.35.
Nurcholish Madjid, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia
(Beberapa Permasalahan), Jakarta : INIS, 1990, jilid VII, hlm. 108-109.
Romli Atmasasmita S.
H., Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Bandung: PT Eresco, 1992, hlm. 42
Rowe, W,
L., Pluralisme Religious. Cambridge:
Cambridge University Press. 1999
Zikri,
Manshur,. Makalah Teori: Perspektif dan
Paradigma Dalam Kriminologi dan Kesesuainnya dengan Teori-Teori Kriminologi,
2010.
http://www.fica.org/hr/ambon/idKronologisKerusuhanAmbonSept1999.html
[1] Lombard, Denys. Nusa Jawa Silang Budaya. Jakarta:
Gramedia, 1996.
[2]Hefner, Robert W. Agama: Berkembangnya Pluralisme. Dalam Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi,
Maysarakat Transisi, di rubah oleh Donald K. Emerson. Jakarta, Gramedia
Pustaka Utama dan The Asia Foundation, 2001a.
[3] http://www.fica.org/hr/ambon/idKronologisKerusuhanAmbonSept1999.html
[4] Abas, Zainul. Hubungan Antar Agama di Indonesia: Tantangan
dan Harapan. Di unduh pada tanggal 26 Mei 2012.
[6] Ibid.
[7] Romli Atmasasmita S. H., Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Bandung: PT Eresco, 1992, hlm. 42 (ditulis
juga oleh Manshur Zikri pada Makalah
Teori: Perspektif dan Paradigma Dalam Kriminologi dan Kesesuainnya dengan
Teori-Teori Kriminologi, 2010.
[10] Beal, JC dan Greg,
Restall. Logical Pluralism. Jurnal 28
Maret, 2000.
[11]Husaini, Adian. Pluralisme Agama; Musuh Agama – Agama (Pandangan
Katolik, Protestan, Hindu, dan Islam terhadap paham Pluralisme Agama).
Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia. 2010.
[12]Arif,
Syamsudin. Pluralisme di Indonesia: Paham
dan Amalan. Disampaikan dalam Wacana
Membrantas Gerakan Pluralisme Agama: 14 Desember 2010
[14] Kuper,
Adam dan Kuper, Jessica. Ensiklopedi
Ilmu-Ilmu Sosial. Jilid I. Jakarta: Rajawali Press. 200. Hal 464.
[15]Paragraf
itu merupakan komentar Nurcholish Madjid yang dicantumkan dalam buku Atas Nama Agama. Lihat Andito (ed.), Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam Dialog
“Bebas” Konflik, (Bandung : Pustaka Hidayah, 1998), hlm. 259.
[16] Lihat
Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia yang diterima dan diumumkan oleh
Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III) .
[17] Nurcholish
Madjid, Ilmu Perbandingan Agama di
Indonesia (Beberapa Permasalahan), Jakarta : INIS, 1990, jilid VII, hlm.
108-109.
[18] Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia:
Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effeni, Ahmad Wahib dan Abdurrahman
Wahid, pent. Nanang Tahqiq (Jakarta
: Paramadina, 1999), cet. I.
0 comments:
Posting Komentar