Recent News

Kamis, 10 Mei 2012

Kajian Definisi dan Bentuk-Bentuk Korupsi di Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi





Nama                     : Kahfi Dirga Cahya
NPM                      : 1106084280
Mata Kuliah         : Enterprises dan White Collar Crime
Jurusan                : Kriminologi - FISIP UI

   Berdasarkan riset dari Transparency International, Indonesia merupakan salah negara dengan tingkat korupsi tertinggi. Dengan bertengger di posisi 100[1]. Sejatinya belum layak Indonesia membanggakan dirinya dan beristirahat dalam membenahi kasus korupsi. Berbagai keraguan mulai muncul, semenjak runtuhnya pemerintahan Orde Baru ala Soeharto[2], seharusnya masa ini (reformasi)[3]menjadi momentum dalam pembenahan sistematika pemerintahan dan negara  yang dulu sempat carut marut akibat kedigdayaan Soeharto. Fakta sekali lagi berkata lain, kebijakan serta UU seakan menjadi prasyarat semata. Kehadirannya belum bisa memberikan efek jera, bahkan terkesan melemahkan segi  penghukuman atau pemidanaan bagi pelaku korupsi.
      Berbagai cara dilakukan pemerintah untuk meminimalisir korupsi. Salah satu langkah pertama yang dinilai cukup solutif pada awal reformasi adalah dengan membentuk Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebenarnya pembuatan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor merupakan perubahan dari Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Selain itu pertimbangan lainnya adalah tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam  rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. Lebih dari itu akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.[4]
    Dua tahun berselang, nampaknya pemerintah belum cukup tangkas dalam memberantas korupsi. Sehingga dibentuk Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor.[5] Secara pasti tercantumnya hukuman mati terkesan setengah hati dalam penerapan maupun teoritisnya, hal ini bisa dilihat dari adanya kata “keadaan tertentu”.[6] Melihat hal seperti layaknya kita merenungkan ulang bagaimana pelaku korupsi masih bisa bebas bergerak. Hal ini juga didasari karena implementasi terhadap penghukuman tersebut belum lah berjalan sesuai yang diharapkan.
      Di luar konteks penghukuman sendiri, sebenarnya masalah korupsi terdapat pada kegagalan program antikorupsi dalam memberikan pemahaman karakteristik korupsi sendiri, yang berakibat dari cara penanganannya. Di tingkat Internasional sendiri, perspektif pemahaman korupsi terpecah-pecah; perspektif legalitas, antropologis, ekonomi dan institusional.[7] Pemerintah Indonesia sendiri juga masih terkesan bias dalam pemahaman konteks korupsi. Menurut UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor, yang terindikasi ke dalam korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri  sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.[8] Jika melihat konteks ini, pemerintah belum bisa mendefinisikan secara jelas korupsi secara teoritis. Karena pada praktiknya tidak semua tindakan korupsi merugikan negara. Ada hal lain yang pada praktiknya sama sekali tidak menyentuh keuangan dan perekonomian negara. Sementara itu The UN’s Global Programme against Corruption mendefinisikan korupsi sebagai "penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi ", dan itu termasuk masyarakat dan sektor swasta. Jika dinalar secara baik, hal ini dapat dirasionalisasikan dengan perkembangan korupsi di Indonesia. Dimana korupsi sudah tidak lagi berkutat pada konteks pemerintahan atau negara, melainkan sektor swasta.
      Secara eksplisit terlihat bahwa yang menjadi konsentrasi dalam korupsi dalam UU No. 31 Tahun 1999 adalah pegawai negeri dan korporasi. Dimana keduanya dianggap berpeluang besar dalam tindakan korupsi yang sejatinya merugikan keuangan negara. Bentuk korupsi dalam UU No. 31 Tahun 1999 lebih banyak mengacu kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dimana yang termasuk dalam  Namun selain dari itu, setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut dapat dikenakan sesuai dengan sebagai tindak pidana korupsi. Lebih dari itu, orang yang berusaha untuk memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan untuk terjadi` tindak pidana korupsi dan orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi.[9]
     Pada prinsipnya korupsi merupakan kegiatan yang memiliki banyak perspektif. Selain daripada itu biasanya tindakan korupsi meliputi suap, penggelapan/pencucian/penipuan, pemerasan, penyalahgunaan kebijakan, nepotisme, kontribusi politik yang tidak seimbang.[10] Dalam praktiknya terutama di Indonesia, tindakan yang terindikasi korupsi tersebut banyak menjadi pepesan kosong. Hal ini dikarenakan belum ada tingkat kepedulian yang tinggi baik dari masyarakat ataupun pemerintahan sendiri. Rekan kerja atau kolega juga sangat berperan penting pada proses pencegahan korupsi. Dikarenakan rekan kerja/kolega berkaitan langsung dengan calon pelaku tindak pidana korupsi di lapangan. Meskipun demikian, pemerintah baiknya melakukan reformasi di bidang penghukuman bagi koruptor. Karena hal ini di indikasi dapat memberikan efek jera bagi pelaku atau menakutkan bagi seseorang yang ingin melakukan tindak pidana korupsi. Kesimpulannya, banyak faktor yang menyebabkan gagalnya penaganan korupsi, mulai dari kelemahan institusional birokrasi, parpol dan parlemen tidak bisa dikontrol oleh masyarakat. Namun lebih dari itu, ada baiknya kita terlebih dahulu memiliki perspektif dan deksripsi yang kuat untuk korupsi. Hal ini diasumsikan agar dapat menanggulangi tindak pidana korupsi secara komprehensif dan jelas.


[1] http://www.ti.or.id/media/documents/2011/12/01/f/i/file_1.pdf

[2] http://indonesiaindonesia.com/f/2390-indonesia-era-orde-baru/
[3]http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/05/08/117811/Sukmawati-Jangan-Salahkan-Reformasi

[4] Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
[5] Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor

[6] http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/12/02/11/lz84mr-korupsi-rp-500-miliar-bakal-dihukum-mati
[7] http://www.metrotvnews.com/metromain/analisdetail/2012/03/03/250/Tingkat-Korupsi

[8] Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
[9] Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

[10] http://www.unodc.org/pdf/myanmar/Corruption_web.pdf

0 comments:

Posting Komentar

Open Panel

Label

Blogroll

Labels