Nama : Kahfi Dirga Cahya
NPM : 1106084280
Mata Kuliah : Enterprises
dan White Collar Crime
Jurusan : Kriminologi - FISIP UI
Berdasarkan riset dari Transparency International, Indonesia
merupakan salah negara dengan tingkat korupsi tertinggi. Dengan bertengger di
posisi 100[1]. Sejatinya
belum layak Indonesia membanggakan dirinya dan beristirahat dalam membenahi
kasus korupsi. Berbagai keraguan mulai muncul, semenjak runtuhnya pemerintahan
Orde Baru ala Soeharto[2],
seharusnya masa ini (reformasi)[3]menjadi
momentum dalam pembenahan sistematika pemerintahan dan negara yang dulu sempat carut marut akibat
kedigdayaan Soeharto. Fakta sekali lagi berkata lain, kebijakan serta UU seakan
menjadi prasyarat semata. Kehadirannya belum bisa memberikan efek jera, bahkan
terkesan melemahkan segi penghukuman
atau pemidanaan bagi pelaku korupsi.
Berbagai cara dilakukan pemerintah untuk
meminimalisir korupsi. Salah satu langkah pertama yang dinilai cukup solutif
pada awal reformasi adalah dengan membentuk Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebenarnya pembuatan UU No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor merupakan perubahan dari Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dinilai
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Selain itu pertimbangan lainnya adalah tindak pidana korupsi sangat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional,
sehingga harus diberantas dalam rangka
mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UndangUndang
Dasar 1945. Lebih dari itu akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini
selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat
pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.[4]
Dua tahun berselang, nampaknya
pemerintah belum cukup tangkas dalam memberantas korupsi. Sehingga dibentuk
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tipikor.[5]
Secara pasti tercantumnya hukuman mati terkesan setengah hati dalam penerapan
maupun teoritisnya, hal ini bisa dilihat dari adanya kata “keadaan tertentu”.[6] Melihat
hal seperti layaknya kita merenungkan ulang bagaimana pelaku korupsi masih bisa
bebas bergerak. Hal ini juga didasari karena implementasi terhadap penghukuman
tersebut belum lah berjalan sesuai yang diharapkan.
Di luar konteks penghukuman sendiri, sebenarnya masalah korupsi terdapat pada kegagalan program antikorupsi dalam memberikan pemahaman karakteristik korupsi sendiri, yang berakibat dari cara penanganannya. Di tingkat Internasional sendiri, perspektif pemahaman korupsi terpecah-pecah; perspektif legalitas, antropologis, ekonomi dan institusional.[7] Pemerintah Indonesia sendiri juga masih terkesan bias dalam pemahaman konteks korupsi. Menurut UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor, yang terindikasi ke dalam korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.[8] Jika melihat konteks ini, pemerintah belum bisa mendefinisikan secara jelas korupsi secara teoritis. Karena pada praktiknya tidak semua tindakan korupsi merugikan negara. Ada hal lain yang pada praktiknya sama sekali tidak menyentuh keuangan dan perekonomian negara. Sementara itu The UN’s Global Programme against Corruption mendefinisikan korupsi sebagai "penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi ", dan itu termasuk masyarakat dan sektor swasta. Jika dinalar secara baik, hal ini dapat dirasionalisasikan dengan perkembangan korupsi di Indonesia. Dimana korupsi sudah tidak lagi berkutat pada konteks pemerintahan atau negara, melainkan sektor swasta.
Di luar konteks penghukuman sendiri, sebenarnya masalah korupsi terdapat pada kegagalan program antikorupsi dalam memberikan pemahaman karakteristik korupsi sendiri, yang berakibat dari cara penanganannya. Di tingkat Internasional sendiri, perspektif pemahaman korupsi terpecah-pecah; perspektif legalitas, antropologis, ekonomi dan institusional.[7] Pemerintah Indonesia sendiri juga masih terkesan bias dalam pemahaman konteks korupsi. Menurut UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor, yang terindikasi ke dalam korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.[8] Jika melihat konteks ini, pemerintah belum bisa mendefinisikan secara jelas korupsi secara teoritis. Karena pada praktiknya tidak semua tindakan korupsi merugikan negara. Ada hal lain yang pada praktiknya sama sekali tidak menyentuh keuangan dan perekonomian negara. Sementara itu The UN’s Global Programme against Corruption mendefinisikan korupsi sebagai "penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi ", dan itu termasuk masyarakat dan sektor swasta. Jika dinalar secara baik, hal ini dapat dirasionalisasikan dengan perkembangan korupsi di Indonesia. Dimana korupsi sudah tidak lagi berkutat pada konteks pemerintahan atau negara, melainkan sektor swasta.
Secara eksplisit terlihat bahwa yang
menjadi konsentrasi dalam korupsi dalam UU No. 31 Tahun 1999 adalah pegawai
negeri dan korporasi. Dimana keduanya dianggap berpeluang besar dalam tindakan
korupsi yang sejatinya merugikan keuangan negara. Bentuk korupsi dalam UU No.
31 Tahun 1999 lebih banyak mengacu kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
dimana yang termasuk dalam Namun selain
dari itu, setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri
dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau
kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan
atau kedudukan tersebut dapat dikenakan sesuai dengan sebagai tindak pidana
korupsi. Lebih dari itu, orang yang berusaha untuk memberikan bantuan,
kesempatan, sarana atau keterangan untuk terjadi` tindak pidana korupsi dan orang
yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan
tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak
pidana korupsi.[9]
Pada prinsipnya korupsi merupakan kegiatan yang memiliki banyak perspektif. Selain daripada itu biasanya tindakan korupsi meliputi suap, penggelapan/pencucian/penipuan, pemerasan, penyalahgunaan kebijakan, nepotisme, kontribusi politik yang tidak seimbang.[10] Dalam praktiknya terutama di Indonesia, tindakan yang terindikasi korupsi tersebut banyak menjadi pepesan kosong. Hal ini dikarenakan belum ada tingkat kepedulian yang tinggi baik dari masyarakat ataupun pemerintahan sendiri. Rekan kerja atau kolega juga sangat berperan penting pada proses pencegahan korupsi. Dikarenakan rekan kerja/kolega berkaitan langsung dengan calon pelaku tindak pidana korupsi di lapangan. Meskipun demikian, pemerintah baiknya melakukan reformasi di bidang penghukuman bagi koruptor. Karena hal ini di indikasi dapat memberikan efek jera bagi pelaku atau menakutkan bagi seseorang yang ingin melakukan tindak pidana korupsi. Kesimpulannya, banyak faktor yang menyebabkan gagalnya penaganan korupsi, mulai dari kelemahan institusional birokrasi, parpol dan parlemen tidak bisa dikontrol oleh masyarakat. Namun lebih dari itu, ada baiknya kita terlebih dahulu memiliki perspektif dan deksripsi yang kuat untuk korupsi. Hal ini diasumsikan agar dapat menanggulangi tindak pidana korupsi secara komprehensif dan jelas.
Pada prinsipnya korupsi merupakan kegiatan yang memiliki banyak perspektif. Selain daripada itu biasanya tindakan korupsi meliputi suap, penggelapan/pencucian/penipuan, pemerasan, penyalahgunaan kebijakan, nepotisme, kontribusi politik yang tidak seimbang.[10] Dalam praktiknya terutama di Indonesia, tindakan yang terindikasi korupsi tersebut banyak menjadi pepesan kosong. Hal ini dikarenakan belum ada tingkat kepedulian yang tinggi baik dari masyarakat ataupun pemerintahan sendiri. Rekan kerja atau kolega juga sangat berperan penting pada proses pencegahan korupsi. Dikarenakan rekan kerja/kolega berkaitan langsung dengan calon pelaku tindak pidana korupsi di lapangan. Meskipun demikian, pemerintah baiknya melakukan reformasi di bidang penghukuman bagi koruptor. Karena hal ini di indikasi dapat memberikan efek jera bagi pelaku atau menakutkan bagi seseorang yang ingin melakukan tindak pidana korupsi. Kesimpulannya, banyak faktor yang menyebabkan gagalnya penaganan korupsi, mulai dari kelemahan institusional birokrasi, parpol dan parlemen tidak bisa dikontrol oleh masyarakat. Namun lebih dari itu, ada baiknya kita terlebih dahulu memiliki perspektif dan deksripsi yang kuat untuk korupsi. Hal ini diasumsikan agar dapat menanggulangi tindak pidana korupsi secara komprehensif dan jelas.
[1]
http://www.ti.or.id/media/documents/2011/12/01/f/i/file_1.pdf
[2] http://indonesiaindonesia.com/f/2390-indonesia-era-orde-baru/
[3]http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/05/08/117811/Sukmawati-Jangan-Salahkan-Reformasi
[4] Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
[5] Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tipikor
[6] http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/12/02/11/lz84mr-korupsi-rp-500-miliar-bakal-dihukum-mati
[7]
http://www.metrotvnews.com/metromain/analisdetail/2012/03/03/250/Tingkat-Korupsi
[8] Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
[9] Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
[10]
http://www.unodc.org/pdf/myanmar/Corruption_web.pdf
0 comments:
Posting Komentar