oleh Kahfi Dirga Cahya, 1106084280
Diskusi
internasional di PBB mengenai hak asasi manusia telah menghasilkan beberapa
piagam penting antara lain Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), dua
perjanjian yaitu Kovenan Internasonal Hak Sipil dan Politik dan Kovenan
Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (1966), dan berikutnya Deklarasi
Wina (1993). Pada tahun 2002 kemajuan konsep hak asasi manusia mencapai tonggak
sejarah baru dengan didirikannya Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court atau ICC) yang khusus mengadili pelanggaran
terhadap kemanusiaan, genosida, dan kejahatan perang.
Terciptanya
berbagai penting yang diatur secara internasional oleh PBB tidak terlepas dari
hak manusia. Seperti yang tercatat dalam Mukadimah Kovenan Internasional Hak
Sipil dan Politik (1966), dicanangkan : “Hak-hak ini berasal dari harkat dan
martabat yang melekat pada manusia.” Maksudnya adalah, hak-hak ini terdapat
pada semua manusia, tidak berdasarkan bangsa, ras, agama atau gender.
Di
barat, tepatnya di Inggris pada tahun 1215, HAM sudah muncul saat pemerintahan
Raja John dengan sejumlah bangsawan dalam bentuk perjanjian, Magna Charta. Perjanjian ini berupa
pengakuan hak berbentuk imbalan untuk dukungan mereka membiayai penyelenggaraan
pemerintah dan kegiatan perang.
Salah
satu tokoh yang terkenal merumuskan hak-hak alam di barat ialah John Locke,
yaitu hak atas hidup, kebebasan dan kepemilikkan serta pemikiran bahwa
pengusaha harus memerintah dengan persetujuan rakyat. Sedangkan filsuf
Perancis, Montesquieu lebih menkankan perlunya pembagian kekuasaan sebagai
sarana menjamin hak-hak itu, suatu sitem yang kemudian dikenal dengan istilah trias politica.
Seusai
Perang Dunia II timbullah keinginan untuk merumuskan hak asasi yang diakui
seluruh dunia sebagai standar universal bagi perilaku manusia. Usaha pertama ke
araf standard setting ini dimulai
oleh Komisi Hak Asasi Manusia yang didirikan PBB pada tahun 1946. Dalam sidang
Komisi Hak Asasi Manusia, kedua jenis hak asasi manusia dimasukkan sebagai
hasil kompromi antara negara-negara Barat dengan negara-negara lain, salah
diantara hasilnya ialah Universal
Declaration of Human Rights.
Kemudian
tahap selanjutnya yang ditempuh oleh Komisi Hak Asasi PBB adalah menyusun suatu
yang lebih mengikat daripada deklarasi belaka, dalam bentuk perjanjian.
Prakteknya, butuh waktu cukup lama untuk mencapai konsensu agar Sidang Umum PBB
menerima baik Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Kovenan
Internasional Hak Sipil dan Politik, serta tentang pengaduan perorangan.
Kemudian untuk membubuhkan dua kovenan PBB serta Optional Protocol dinyatakan berlaku juga memerlukan waktu yang
cukup lama, hingga dianggap sebagai satu kesatuan, yang dinamakan Undang-Undang
Internasional Hak Asasi Manusia.
Setelah
penetapan pun, masih banyak perdebatan yang terjadi dalam forum PBB. Salah
penyebabnya adalah perbedaan sifat antara hak politik dan hak ekonomi, yang
terkadang menuju ke suatu “ketegangan” antara dua jenis hak asasi ini.
Perbedaan lain ialah, jika pelaksanaan hak politik memerlukan dibatasinya
pemerintah, maka untuk melaksanakan hak ekonomi tidak cukup hanya melalui
perundang-undangan saja.
Negara-negara
berkembang sangat mendukung perumusan hak ekonomi dalam Kovenan Internasional.
Malahan ada pendapat bahwa penikmatan hak ekonomi merupakan jaminan penikmatan
hak politik. Bangsa Afrika berupaya merumuskan berbagai ciri khas bangsa-bangsa
Afrika dan menghubungkanya dengan hak politik dan ekonomi yang tercantum dalam
dua Kovenan PBB. Bentuknya berupa, African
[Banjul] Charter on Human and Peoples’ Right. Kemudian, ada pula Cairo Declaration on Human Rights in Islam,
Singapore White Papper on Shared Values,
Bangkok Declaration, dan Vienna Declaration and Programme of Action.
Sedangkan
di Indonesia sendiri, penanganan HAM mengalami pasang surut. Setelah dua rezim
sebelumnya, orde lama dan orde baru, reformasi sampai saat ini belum
menampakkan tajinya dalam dunia HAM. Buktinya, pelaksanaan hak ekonomi belum
terlaksana secara memuaskan. Selain daripada itu, Indonesia juga memerhatikan
konsep Hak Asasi Perempuan. Kenyataanya, Indonesia telah meratifikasi dua perjanjian
mengenai Hak Politik Perempuan, dam Perjanjian mengenai Penghapusan
Diskriminasi terhadap Perempuan. Namun, penegakkan Hak Asasi Manusia bukan
hanya dilihat apakah suatu pemerintah sudah atau belum meratifikasi sebuah
perjanjian, tapi apakah isi dari suatu ratifikasi itu benar dilaksanakan atau
tidak.
Sumber
: Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu
Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008
0 comments:
Posting Komentar