Recent News

Minggu, 25 Desember 2011

Review Hak Asasi Manusia (HAM)


oleh Kahfi Dirga Cahya, 1106084280
Diskusi internasional di PBB mengenai hak asasi manusia telah menghasilkan beberapa piagam penting antara lain Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), dua perjanjian yaitu Kovenan Internasonal Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (1966), dan berikutnya Deklarasi Wina (1993). Pada tahun 2002 kemajuan konsep hak asasi manusia mencapai tonggak sejarah baru dengan didirikannya Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court atau ICC) yang khusus mengadili pelanggaran terhadap kemanusiaan, genosida, dan kejahatan perang.
Terciptanya berbagai penting yang diatur secara internasional oleh PBB tidak terlepas dari hak manusia. Seperti yang tercatat dalam Mukadimah Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (1966), dicanangkan : “Hak-hak ini berasal dari harkat dan martabat yang melekat pada manusia.” Maksudnya adalah, hak-hak ini terdapat pada semua manusia, tidak berdasarkan bangsa, ras, agama atau gender.
Di barat, tepatnya di Inggris pada tahun 1215, HAM sudah muncul saat pemerintahan Raja John dengan sejumlah bangsawan dalam bentuk perjanjian, Magna Charta. Perjanjian ini berupa pengakuan hak berbentuk imbalan untuk dukungan mereka membiayai penyelenggaraan pemerintah dan kegiatan perang.
Salah satu tokoh yang terkenal merumuskan hak-hak alam di barat ialah John Locke, yaitu hak atas hidup, kebebasan dan kepemilikkan serta pemikiran bahwa pengusaha harus memerintah dengan persetujuan rakyat. Sedangkan filsuf Perancis, Montesquieu lebih menkankan perlunya pembagian kekuasaan sebagai sarana menjamin hak-hak itu, suatu sitem yang kemudian dikenal dengan istilah trias politica.
Seusai Perang Dunia II timbullah keinginan untuk merumuskan hak asasi yang diakui seluruh dunia sebagai standar universal bagi perilaku manusia. Usaha pertama ke araf standard setting ini dimulai oleh Komisi Hak Asasi Manusia yang didirikan PBB pada tahun 1946. Dalam sidang Komisi Hak Asasi Manusia, kedua jenis hak asasi manusia dimasukkan sebagai hasil kompromi antara negara-negara Barat dengan negara-negara lain, salah diantara hasilnya ialah Universal Declaration of Human Rights.
Kemudian tahap selanjutnya yang ditempuh oleh Komisi Hak Asasi PBB adalah menyusun suatu yang lebih mengikat daripada deklarasi belaka, dalam bentuk perjanjian. Prakteknya, butuh waktu cukup lama untuk mencapai konsensu agar Sidang Umum PBB menerima baik Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, serta tentang pengaduan perorangan. Kemudian untuk membubuhkan dua kovenan PBB serta Optional Protocol dinyatakan berlaku juga memerlukan waktu yang cukup lama, hingga dianggap sebagai satu kesatuan, yang dinamakan Undang-Undang Internasional Hak Asasi Manusia.
Setelah penetapan pun, masih banyak perdebatan yang terjadi dalam forum PBB. Salah penyebabnya adalah perbedaan sifat antara hak politik dan hak ekonomi, yang terkadang menuju ke suatu “ketegangan” antara dua jenis hak asasi ini. Perbedaan lain ialah, jika pelaksanaan hak politik memerlukan dibatasinya pemerintah, maka untuk melaksanakan hak ekonomi tidak cukup hanya melalui perundang-undangan saja.
Negara-negara berkembang sangat mendukung perumusan hak ekonomi dalam Kovenan Internasional. Malahan ada pendapat bahwa penikmatan hak ekonomi merupakan jaminan penikmatan hak politik. Bangsa Afrika berupaya merumuskan berbagai ciri khas bangsa-bangsa Afrika dan menghubungkanya dengan hak politik dan ekonomi yang tercantum dalam dua Kovenan PBB. Bentuknya berupa, African [Banjul] Charter on Human and Peoples’ Right. Kemudian, ada pula Cairo Declaration on Human Rights in Islam, Singapore White Papper on Shared Values, Bangkok Declaration, dan Vienna Declaration and Programme of Action.
Sedangkan di Indonesia sendiri, penanganan HAM mengalami pasang surut. Setelah dua rezim sebelumnya, orde lama dan orde baru, reformasi sampai saat ini belum menampakkan tajinya dalam dunia HAM. Buktinya, pelaksanaan hak ekonomi belum terlaksana secara memuaskan. Selain daripada itu, Indonesia juga memerhatikan konsep Hak Asasi Perempuan. Kenyataanya, Indonesia telah meratifikasi dua perjanjian mengenai Hak Politik Perempuan, dam Perjanjian mengenai Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan. Namun, penegakkan Hak Asasi Manusia bukan hanya dilihat apakah suatu pemerintah sudah atau belum meratifikasi sebuah perjanjian, tapi apakah isi dari suatu ratifikasi itu benar dilaksanakan atau tidak.
Sumber : Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008

0 comments:

Posting Komentar

Open Panel

Label

Blogroll

Labels