Recent News

Kamis, 03 Mei 2012

Analisa Kasus Perusahaan Enron (Film, Enron: The Smartest Guys in the Room)


Nama                     :Kahfi Dirga Cahya
NPM                      :110084280
Mata Kuliah         :Enterprises and White Collar Crime
Jurusan                :Kriminologi - FISIP UI
       Ibu jari pria tua itu diborgol dengan erat. Dengan memakai jas berwarna biru tua, celana panjang abu-abu dan kemeja biru muda serta dasi merah, ia turun dari mobil yang membawanya. Matanya melihat sejenak menuju media yang sedang memburu gambarnnya. Dibelakangnya, perempuan dengan rambut ikal panjang menuntun pria yang juga memakai sepatu coklat itu berjalan menuju sebuah gedung. Pria tua itu adalah Kenneth Lay, mantan CEO Enron.[1]
       Didirikan pada tahun 1985 oleh Kenneth Lay, Perusahaan Enron adalah gabungan antara InterNort (penyaluran gas alam melalui pipa) dengan Houston Natural Gas. Perusahaan Enron yang pada awalnya hanya bergerak di bidang industri energi /gas, dalam konteks pipanisasi gas alam di Negara Bagian Texas, kemudian bergerak menjadi perusahaan raksasa global dalam beberapa tahun terakhir sebelum  mimpi buruk menerpa mereka. Hal tersebut dibuktikan dengan diversifikasi usaha  yang dilakukan Enron secara luas dan tidak ada kaitannya dengan industri energi. Diversifikasi tersebut antara lain meliputi future transaction, trading commodity non energy dan kegiatan bisnis keuangan. Sehingga membuat Enron termasuk ke dalam 500 daftar perusahaan terkaya di dunia dengan omzet US$ 100 Milyar serta mendapatkan penghargaan sebagai perusahaan “paling dikagumi” versi majalah fortune pada tahun 2000 dan 2001.[2] Kemajuan yang diterima Enron ini tidak terlepas dari periode 2 tahun setelah berdirinya perusahaan. Dua pialang bertaruh dalam pasar minyak, sehingga menghasilkan keuntungan yang tinggi bagi perusahaan Enron. Lay kemudian berinisiatif untuk berjudi dengan kekayaan yang dimiliki perusahaan. Bagi Lay, menjadi kaya merupakan suatu yang penting. Namun, permasalahan lain menerpa, yaitu terungkapnya perdangangan kotor, yang mengakibatkan dipecatnya beberapa orang yang terkait. Namun,  dalam hal ini Lay mencuci tangan dengan melepas tanggung jawab atas apa yang telah terjadi.
Dengan CEO barunya, Jeffrey Skilling, Enron melakukan hal-hal di luar mainstream. Praktik-praktik kotor serta licik mulai diperagakan dalam menjalankan bisnis perusahaan. Dimulai dari proyek-proyek fiktif sampai dengan manipulasi data keuntungan. Hal ini dilakukan hanya semata demi mendapatkan keuntungan. Lebih dari itu, ada pihak lain yang juga terlibat langsung dalam praktik kecurangan ini, yaitu KAP Andersen sebagai akuntan publik yang disewa Enron dalam auditnya.
Namun sepandai-pandai tupai melompat pasti akan jatuh juga. Enron terkena batunya atas apa yang telah mereka perbuat selama itu. Enron dianggap melakukan window dressing yaitu memanipulasi angka-angka dalam laporan keuangan mereka agar kinerja Enron terlihat progresif. Penyelidikan terhadap Enron akhirnya menyeret pihak lain yaitu Arthur Andersen sebagai auditor Enron yang disalahkan karena membantu merekayasa laporan keuangan Enron, seperti teknik off-balance sheet untuk me-mark up pendapatan hingga US$ 600 juta dan utang sebesar US$ 1,2 milyar. Perusahaan yang beromzet tidak kurang dari US$ 100 milyar ini bangkrut dan harus menanggung rugi setidaknya sebesar US$ 50 milyar. Harga saham Enron yang pada Agustus 2000 masih bertengger di kisaran US$ 90 per lembarnya harus rontok di harga tidak lebih dari US$ 45 sen saja pada Desember 2001.[3] Terlihat jelas, bahwa peluang melakukan organizational occupational crime[4] menjadi besar karena ada posisi yang mendukung dalam melakukan kejahatan tersebut.
 Lebih parah lagi, Enron memiliki kebijakan untuk menanamkan dana tabungan karyawannya untuk membeli sahamnya sendiri hingga simpanan dana pensium setidaknya US$ 1 milyar milik sekitar 7.500 karyawannya amblas dan pemilik saham yang lain juga harus menanggung kerugian paling tidak sebesar US$ 32 milyar.[5] Dalam hal ini, karyawan Enron menjadi korban langsung atas kejahatan yang dilakukan oleh petinggi Enron. Hal ini sejalan dengan pemikiran Vito dan Holmes (1994:383-384), yang menyebut korban lebih menderita dan penderitaan itu tidak rasakan seketika sebagai karakter dari white collar crime.[6]
Pada prinsipnya, enterprises(perusahaan) dan white collar crime memiliki keeratan dalam praktiknya. Perusahaan yang memiliki naluriah untuk berkembang dan maju secara pesat seringkali kalap atas peluang di depan mata. Mereka melihat peluang itu sebagai prospek ke depan yang menguntungkan, tanpa mepedulikan resiko yang akan di tanggung nanti. White collar crime sendiri merupakan momok bagi perusahaan ketika mereka terjerumus. Maka pada akhirnya, keduanya akan sangat erat jika ada peluang dengan kecerobohan yang besar di dalam praktiknya.
                  

[1] Enron: The Smartest Guys in the Room
[4] Jo Ann Miller. 1991. White Collar Crime. Makalah. 24 Juli. Tidak diterbitkan. Hal 8-9.
[6] Gennaro F. Vito and Ronald M. Holmes. Op.cit. Hal. 383-384.

0 comments:

Posting Komentar

Open Panel

Label

Blogroll

Labels