Nama :Kahfi Dirga Cahya
NPM :110084280
Mata
Kuliah :Enterprises and White Collar Crime
Jurusan :Kriminologi - FISIP UI
Ibu jari pria tua itu diborgol dengan
erat. Dengan memakai jas berwarna biru tua, celana panjang abu-abu dan kemeja
biru muda serta dasi merah, ia turun dari mobil yang membawanya. Matanya
melihat sejenak menuju media yang sedang memburu gambarnnya. Dibelakangnya,
perempuan dengan rambut ikal panjang menuntun pria yang juga memakai sepatu
coklat itu berjalan menuju sebuah gedung. Pria tua itu adalah Kenneth Lay, mantan
CEO Enron.[1]
Didirikan pada tahun 1985 oleh Kenneth Lay, Perusahaan
Enron adalah gabungan antara InterNort (penyaluran gas alam melalui pipa)
dengan Houston Natural Gas. Perusahaan Enron yang pada awalnya hanya bergerak di
bidang industri energi /gas, dalam konteks pipanisasi gas alam di Negara Bagian
Texas, kemudian bergerak menjadi perusahaan raksasa global dalam beberapa tahun
terakhir sebelum mimpi buruk menerpa
mereka. Hal tersebut dibuktikan dengan diversifikasi usaha yang dilakukan Enron secara luas dan tidak ada
kaitannya dengan industri energi. Diversifikasi tersebut antara lain meliputi future transaction, trading commodity non energy dan kegiatan bisnis keuangan. Sehingga
membuat Enron termasuk ke dalam 500 daftar perusahaan terkaya di dunia dengan
omzet US$ 100 Milyar serta mendapatkan penghargaan sebagai perusahaan “paling
dikagumi” versi majalah fortune pada tahun 2000 dan 2001.[2]
Kemajuan yang diterima Enron ini tidak terlepas dari periode 2 tahun setelah
berdirinya perusahaan. Dua pialang bertaruh dalam pasar minyak, sehingga menghasilkan
keuntungan yang tinggi bagi perusahaan Enron. Lay kemudian berinisiatif untuk
berjudi dengan kekayaan yang dimiliki perusahaan. Bagi Lay, menjadi kaya
merupakan suatu yang penting. Namun, permasalahan lain menerpa, yaitu terungkapnya
perdangangan kotor, yang mengakibatkan dipecatnya beberapa orang yang terkait.
Namun, dalam hal ini Lay mencuci tangan
dengan melepas tanggung jawab atas apa yang telah terjadi.
Dengan CEO barunya, Jeffrey Skilling, Enron
melakukan hal-hal di luar mainstream. Praktik-praktik kotor serta licik mulai
diperagakan dalam menjalankan bisnis perusahaan. Dimulai dari proyek-proyek
fiktif sampai dengan manipulasi data keuntungan. Hal ini dilakukan hanya semata
demi mendapatkan keuntungan. Lebih dari itu, ada pihak lain yang juga terlibat
langsung dalam praktik kecurangan ini, yaitu KAP Andersen sebagai akuntan
publik yang disewa Enron dalam auditnya.
Namun sepandai-pandai tupai melompat pasti akan
jatuh juga. Enron terkena batunya atas apa yang telah mereka perbuat selama
itu. Enron dianggap melakukan window dressing yaitu memanipulasi angka-angka dalam
laporan keuangan mereka agar kinerja Enron terlihat progresif. Penyelidikan
terhadap Enron akhirnya menyeret pihak lain yaitu Arthur Andersen sebagai
auditor Enron yang disalahkan karena membantu merekayasa laporan keuangan
Enron, seperti teknik off-balance sheet untuk me-mark up pendapatan hingga US$ 600 juta dan utang sebesar
US$ 1,2 milyar. Perusahaan yang beromzet tidak kurang dari US$ 100 milyar ini
bangkrut dan harus menanggung rugi setidaknya sebesar US$ 50 milyar. Harga
saham Enron yang pada Agustus 2000 masih bertengger di kisaran US$ 90 per
lembarnya harus rontok di harga tidak lebih dari US$ 45 sen saja pada Desember
2001.[3]
Terlihat jelas, bahwa peluang melakukan organizational occupational crime[4] menjadi besar
karena ada posisi yang mendukung dalam melakukan kejahatan tersebut.
Lebih
parah lagi, Enron memiliki kebijakan untuk menanamkan dana tabungan karyawannya
untuk membeli sahamnya sendiri hingga simpanan dana pensium setidaknya US$ 1
milyar milik sekitar 7.500 karyawannya amblas dan pemilik saham yang lain juga
harus menanggung kerugian paling tidak sebesar US$ 32 milyar.[5]
Dalam hal ini, karyawan Enron menjadi korban langsung atas kejahatan yang
dilakukan oleh petinggi Enron. Hal ini sejalan dengan pemikiran Vito dan Holmes
(1994:383-384), yang menyebut korban lebih
menderita dan penderitaan itu tidak rasakan seketika sebagai karakter dari white collar crime.[6]
Pada prinsipnya, enterprises(perusahaan) dan white
collar crime memiliki keeratan dalam praktiknya. Perusahaan yang memiliki
naluriah untuk berkembang dan maju secara pesat seringkali kalap atas peluang
di depan mata. Mereka melihat peluang itu sebagai prospek ke depan yang
menguntungkan, tanpa mepedulikan resiko yang akan di tanggung nanti. White collar crime sendiri merupakan
momok bagi perusahaan ketika mereka terjerumus. Maka pada akhirnya, keduanya
akan sangat erat jika ada peluang dengan kecerobohan yang besar di dalam
praktiknya.
0 comments:
Posting Komentar