oleh
Kahfi Dirga Cahya, 1106084280
Pada dasarnya, kebudayaan memiliki
pemahaman yang sama. Namun, terkadang kebudayaan dijabarkan dalam konsep
berbeda di tiap kesempatan. Perbedaan konsep ini memberikan gambaran secara eksplisit
bahwa kebudayaan itu beragam. Tidak harus mengetahui apa definisi dari
kebudayaan tapi dilihat dan dipahami dalam sisi nilai kebudayaan itu sendiri.
Konsep kebudayaan pertama memberikan
gambaran secara konkret, dimana reaksi masyarakat dari individu – individu yang
berbeda terhadap gejala – gejala tertentu adalah sama. Hal ini berdasarkan
sikap – sikap umum sama, nilai – nilai sama dan perilaku sama. Sikap – sikap
umum sama ini mengantarkan sebuah pengertian dimana masyarakat menyikapi suatu
gejala tertentu adalah sama, meskipun didasari keyakinan berbeda. Penyamaan
sikap ini terbentuk karena ada suatu sikap umum yang secara tidak langsung
disepakati oleh bersama, kesepakatan ini berdasarkan satu pola pembelajaran
bukan suatu pola instingtif atau naluri.
Meskipun, instingtif atau naluri sudah dibekali sejak lahir dan mempengaruhi
kebudayaan tapi tidak termasuk bagian dari kebudayaan. Hal ini juga berlaku
pada terbentuknya nilai – nilai dan perilaku yang sama untuk menghasilkan
reaksi sama terhadap suatu gejala tertentu.
Lain dari hal di atas, konsep lain
menjelaskan kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil
karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
dengan belajar. Hampir sama dengan konsep pertama, yaitu sama – sama mengacu
pada hasil sebuah pembelajaran. Namun di sini kita melihat dari sisi lain yaitu
tindakan. Dalam konteks ini, tindakan manusia hampir semuanya digolongkan
menjadi kebudayaan kecuali hal – hal naluri dan instingtif, tapi konsep ini juga
menggiring pengelompokan lain bahwa tindakan manusia yang terbawa dalam gen
bersama kelahirannya juga di kategorikan sebagai tindakan berkebudayaan. Di
sini, kebudayaan juga dikaitkan dengan peradaban. Dengan artian, peradaban
merupakan dari kebudayaan yang halus, maju, dan indah. Seperti, ilmu
pengetahun, kesenian, sopan – santun pergaulan, kepandaiaan menulis dan
sebagainya. Hal – hal tersebut berkaitan langsung terhadap hasil karya manusia
dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia, karena semua di
dasari oleh pembelajaran sehingga membentuk hal – hal tersebut.
Literatur selanjutnya menganalisis
konsep kebudayaan dalam tiga wujud, wujud pertama yaitu kompleks gagasan, dan
pikiran manusia. Wujud ini disebut sistem budaya, sifatnya abstrak, tidak dapat
dilihat dan berpusat pada pikiran – pikiran manusia yang menganutnya saja.
Kemudian wujud kedua adalah kompleks aktivitas, wujud ini berupa aktivitas
manusia yang saling berinteraksi, bersifat kongkret, dan dapat diamati atau
diobservasi. Dan wujud ketiga adalah, wujud sebagai benda. Dalam hal ini
aktivitas manusia yang saling berinteraksi tidak lepas dari berbagai penggunaan
peralatan sebagai hasil karya manusia untuk mencapai tujuannya. Dari ketiga
wujud tersebut dapat disimpulkan bahwa manusia memiliki peran untuk membentuk
suatu kebudayaan.
Unsur – unsur utama dalam
pembentukan kebudayaan ialah unsur kebutuhan minimum. Konsep ini menjelaskan bagaimana
manusia mempertahankan suatu kondisi dengan membuat kondisi buatan. Menurut
Malinowski sendiri, kebudayaan berpangkal
pada manusia untuk mempertahankan kondisi yang menguntungkan baginya.
Artinya, ada beberapa langkah untuk
mencapai suatu kondisi yaitu, pengadaan kembali, pemeliharaan, serta
pengelolaan. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan eksistensi, kelompok dalam
lingkungan alamiah, biologik dan fisik demi kelangsungan sebuah tradisi atau
kebudayaan.
Konsep selanjutnya menjelaskan bahwa
kebudayaan itu diperoleh, dipelajari. Dan hal ini terjadi setiap kali pada
setiap generasi. Pembelajaran kebudayaan dalam konsep ini juga didukung oleh
bahasa. Menurut konsep ini, bahasa merupakan suatu pengantar untuk
mengembangkan sebuah kebudayaaan. Bahasa sendiri berfungsi sebagai penerapan
aturan – aturan yang tidak diketahui oleh mereka yang menerapkannya. Misalnya,
anak – anak bertanya terus jika mereka melakukan sesuatu yang tidak mereka
tahu. Dalam hal ini, bahasa menjadi
penting keberadaanya. Karena tanpa bahasa, tidak ada pertanyaan. Dan tanpa ada
pertanyaan maka tak ada penjelasan tentang suatu hal. Tanpa ada penjelasan
tentang suatu hal maka tidak terbentuk suatu kebudayaan.
E.B Tyor mendefinisikan kebudayaan sebagai kompleks
keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral,
kebiasaan dan lain – lain kecakapan dan kebiasaan yang diperoleh manusia
sebagai anggota masyarakat. Literatur ini setidaknya memberikan gambaran
tentang kebudayaan secara menyeluruh sehingga kebudayaan diartikan sebagai
perilaku bersama. Kemudian, tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat, artinya
kebudayaan dibentuk oleh masyarakat dan masyarakat harus melestarikan
kebudayaan dengan memenuhi kebutuhan biologis yang pokok para anggotanya,
memelihara kelangsungannya, dan memelihara tata tertib diantara anggotanya
dengan orang luar. Karena jika tidak dipelihara, maka kebudayaan akan hancur
karena pengaruh dari luar.
Selanjutnya, dalam konsep lain
kebudayaan didasarkan oleh dua pandangan, yaitu positivisme dan
interpretivisme. Positivisme memandang kebudayaan dari masing – masing
definisinya, muali dari evolusionisme, dan neo - evolusionisme, fungsionalisme
– dan neo - fungsionalisme,
fungsionalisme struktural, struktualisme, sampai dengan materialism budaya.
Dari beberapa aliran tersebut, Koenjaraningrat mengungkap substansinya menjadi
3 wujud kebudayaan, cultural system,
social system, dan artifacts.
Sedangkan kamum interpretivisme memandang kebudayaan pada umumnya dapat
dikenali, misal simbol dan makna, sistem pengetahuan, atau pedoman hidup.
Artinya dari kedua pandangan ini dapat di manifestasikan bahwa kebudayaan
merupakan sebuah keragaman yang terbentuk di ruang lingkup masyarakat.
Pada dasarnya, tidak ada masyarakat
yang tidak memiliki kebudayaan dan sebaliknya tidak kebudayaan tanpa
masyarkata. Setidaknya, literatur ini memberikan gambaran bahwa antara
kebudayaan dan masyarakat mempunyai keterkaitan erat. Kemudian, kebudayaan
sendiri merupakan sesuatu yang tetap hidup, karena kebudayaan akan turun
temurun dari generasi ke generasi, meskipun orang – orang yang menjadi anggota
masyarakat senantiasa silih berganti disebabkan kematian dan kelahiran
(Herskovits). Kebudayaan lahir karena masyarakat dan akan tetap hidup di
masyarakat selama masyarakat bisa melestarikan kebudayaan.
Selanjutnya, konsep kebudayaan
dibagi menjadi ke dalam kebudayaan materi
dan nonmateri. Kebudayaan nonmateri
terdiri dari kata-kata yang dipergunakan orang, hasil pemikiran, adat –
istiadat, keyakinan yang mereka anut, dan kebiasaan yang mereka ikuti.
Sedangkan kebudayaan materi terdiri dari benda-benda hasil pabrik, misalnya,
alat-alat, mebel, mobil, irigasi, parit, lading yang diolah, jalan, jembatan
dan segala benda fisik yang dapat diubah dan dan dipakai orang. Dari kedua
perspektif tersebut, dapat diasumsikan bahwa kebudayaan merupakan suatu hal
yang dapat dinilai.
Konsep terakhir memandang kebudayaan
berdasarkan unsur, sifat dan wujud kebudayaan. Unsur kebudayaan sendiri menurut
konsep ini mengandung makna totalitas daripada sekadar penjumlahan unsur-unsur
yang terdapat di dalamnya. Wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat sendiri
merupakan suatu kompleks ide – ide, suatu kompleks aktivitas, dan sebagai benda
– benda hasil karya manusia. Sedangkan sifat menurut konsep ini yaitu,
kebudayaan beraneka ragam, kebudayaan dapat diteruskan secara sosial dengan
pelajaran, kebudayaan dijabarkan dalam komponen-komponen biologi, psikologi,
dan sosiologi, kebudayaan mempunyai struktur, kebudayaan mempunyai nilai,
kebudayaan mempunyai sifat statis dan dinamis, kebudayaan dapat diabagi dalam
bermacam – macam bidang atau aspek.
Dari beberapa konsep di atas tentang
memahami kebudayaan. Maka, dapat diartikan kebudayaan merupakan sebuah hasil
pembelajaran yang tidak berdasarkan instingtif atau naluri belaka dan memiliki
berbagai wujud, sifat dan unsur pendukungnya. Hal ini dikarenakan, kebudayaan
bersifat universal.
Daftar
Pustaka
Ihromi,
T.O. 1994. Pokok – Pokok Antropologi
Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Soelaeman, Munandar M. 2001. Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar.
Bandung: Refika Aditama.
Susanto, Astrid S. 1999. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial.
Bandung: Putra Abardin.
Baal, van J. 1987. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970). Jilid 1. Jakarta:
Gramedia.
Haviland, William A. 1999. Antropologi. Edisi keempat. Jakarta:
Erlangga.
Masinambow. 1997. Koentjaeaningrat dan Antropologi di Indonesia. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Soekanto,
Sarjono. 1982. Sosiologi : Suatu
Pengantar. Jakarta: Rajawali.
Horton,
B Paul, Hunt, Chester L. 1991. Sosiologi.
Jakarta: Erlangga
0 comments:
Posting Komentar