oleh Kahfi Dirga
Cahya, 1106084280
Antropologi berkembang dari suatu
kejadian dimana pada saat itu beberapa penjajah dari bangsa Eropa Barat pulang
ke negaranya masing – masing dan membawa sesuatu yang lain dan tidak ditemukan
di negaranya. Mereka saling berbagi informasi antara satu sama lain tentang
tempat yang mereka singgahi. Benua Asia, Afrika, dan Amerika merupakan tempat
yang sempat orang Eropa Barat singgahi. Ketiga benua ini masing – masing memiliki sesuatu yang berbeda dan tidak
dimiliki bangsa Eropa Barat. Maka dari itu, orang Eropa Barat mencatat semua
yang berbeda seperti tentang adat – istiadat dan ciri – ciri fisik. Hal yang
dideskripsikan dan dicatat tersebut dinamakan Etnografi.
Kemudian setelah terkumpul berbagai
informasi dari berbagai informasi, maka bangsa Eropa Barat tertarik untuk lebih
dalam mempelajari tentang sejarah perkembangan manusia di ketiga Benua
tersebut. Bersamaan dengan itu pula, bangsa Eropa Barat sedang mengalami krisis
rempah – rempah dan mengharuskan mereka untuk mencari sumber – sumber baru
penghasil rempah – rempah untuk mencukupi kebutuhan mereka. Niat untuk mencari
rempah – rempah dengan bekal etnografi dan semangat etnologi ternyata berubah
haluan menjadi sesuatu yang tidak diperkirakan sebelumnya. Kolonialisme dan
misionaris.
Di awal abad 20 , sebagian negara
Eropa Barat yang dikenal sebagai penjajah berhasil mencapai kepastian untuk
menguasai di daerah – daerah luar eropa. Pertentangan pun dimulai. Pertentangan
muncul dari masyarakat atau bangsa yang merasa dirinya terjajah. Namun, berkat
bekal etnografi yang telah dikumpulkan tadi, penjajah dengan lenggang berjalan
di atas pertentangan yang mulai surut akibat sudah terbacanya tiap gerak –
gerik masyarakat setempat. Etnografi sendiri merupakan cikal bakal dari
Antropologi, maka tidak salah jika Etnografi juga disebut sebagai bagian dari
Antropologi. Dengan kata lain, Antropologi juga berperan penting dalam
pengkaitannya dengan mempelajari ilmu – ilmu bangsa lain secara komprehensif
dan diaplikasikan dalam bentuk kolonialisme atau pembelajaran.
Oleh karena Antropologi ikut
berperan serta dalam kelancaran kolonialisme, ilmu ini dirasa tidak memiliki
tempat khusus dalam negara – negara yang pernah disinggahi kolonialisme.
Sebagian dari mereka berpendapat, Antropologi telah ikut serta memberikan
sumbangsih untuk perkembangan kolonialisme di negaranya. Indonesia adalah salah
satunya. Maka dari persepsi tersebut, Antropologi di Indonesia menjadi ilmu yang
tidak terlalu diperhitungkan keberadaanya. Hanya beberapa dari mereka yang
sadar dan paham tentang Antropologi saja yang menilai Antropologi merupakan
dasar kebudayaan tiap bangsa. Padahal tujuan akademis dari Antropologi
mempunyai arti tersendiri yang menarik jika aplikasikan, yaitu mempelajari manusia
dalam keragaman masyarakat suku bangsa guna membangun masyarakat suku bangsa
itu.
Sementara itu, lebih dari persoalan
antara tingkat kebudayaan minor menjadi
mayoritas. Antropologi sendiri memiliki dua sisi dalam mempelajari manusia.
Pertama, Antropologi mempelajari tentang Biologi, atau biasa disebut
Antropologi Biologi. Pembelajaran ini membahas tentang manusia lewat ciri –
cirri fisik yang juga tidak dapat memastikan apakah hasil pembelajaran itu benar
atau tidak. Kedua, Antropologi mempelajari tentang aspek – aspek pendukung
kebudayaan serta budaya itu sendiri. Pembelajaran ini memberikan sedikit ruang
untuk lebih memahami konteks manusia seutuhnya lewat dimensi pendekatan
berbeda, yaitu kebudayaan yang juga aspek luar dari sisi kehidupan manusia.
Setelah membahas dimana saja
Antropologi memberikan celah untuk memperdalam keberadaan manusia, kita akan
menemukan cara Antropolog dalam melihat, mendeskripsikan, dan memecahkan
problematik dari suatu daerah yang dinilai memerlukan kajian Antropologis.
Pendekatan holistik merupakan salah satu dari cara Antropolog mengkaji suatu
permasalahan yang dirasa penting untuk dikaji secara Antropologis untuk
menghasilkan kesepakatan antara kedua belah pihak tanpa merugikan siapapun,
terutama masyarakat setempat. Pendekatan
holistik sendiri memiliki beberapa unsur pendukung, yaitu fungsional, sistemis,
konfigurasi, integratif, dan kontekstual. Dengan arti lain, pendekatan holistik
ialah melihat sesuatu dari satu mata rantai atau secara sistemis. Asumsinya
adalah, Antropolog mempertimbangkan semua unsur – unsur yang memungkinkan akan
menjadi penghalang untuk pemecahan problematik atau akibat – akibat yang timbul
jika ada sesuatu yang tidak diinginkan.
Setelah pendekatan holistik
terbentuk, maka akan ada emic approach dan
ethic approach dari Antropolog. Emic approach ialah pendekatan menurut
pandangan masyarakat yang berada di sana, antara mereka dan dunia mereka.
Sementara ethic approach merupakan
pendekatan menurut pandangan kita sendiri, antara pandangan kita, dan dunia
kita terhadap mereka. Dalam perbedaan dua jenis pendekatan ini kita bisa
mendapatkan sumber – sumber atau unsur berbeda dalam pemecahan problematik
setempat atau sekadar mempelajari kehidupan masyarakat setempat.
Sehingga kesimpulannya, Antropologi
memberikan kesempatan – kesempatan untuk berpikir dalam dua sisi dan tidak
secara konservatif. Hal ini menjadikan kita untuk tetap melihat sekitar, tidak
hanya berbekal apa yang kita ketahui dalam satu hal tapi juga tentang apa yang
tidak ketahui tentang satu hal yang sama. Karena kita tidak dapat mengukur
dunia dengan satu kacamata.
Daftar Pustaka
Koentjaraningrat.
2009. Pengantar Ilmu Antropologi.
Jakarta: PT. Rineka Cipta
0 comments:
Posting Komentar