Nama : Kahfi Dirga Cahya
NPM : 1106084280
Mata Kuliah : Penologi
Jurusan : Kriminologi - FISIP UI
Pada dasarnya penghukuman adalah
suatu hal yang wajar semenjak dahulu. Di abad 18 an Sir William Blackstone mendeskripsikan hukuman yang wajar di negara
Inggris yaitu hukuman gantung. Kemudian, penderitaan dari hukuman mulai
berkembang menjadi acara publik, seperti hukuman cambuk, gantung, pembakaran,
dan lainnya. Hukuman yang menjelma menjadi penderitaan ini cukup bertahan lama
di Eropa, hingga pada akhirnya terdapat peninjauan ulang pada proses
penghukuman oleh Amerika dan Inggris.
Kejahatan sebenarnya dapat
dihilangkan dari negeri ini jika saja pelaku dijauhkan dari pengaruh buruk.
Namun permasalahannya, dalam periode selanjutnya ternyata proses penghukuman juga mengalami kecacatan sendiri.
Hal ini dapat dilihat dari perbedaan pemberian hukuman bagi kalangan atas yang
hanya membayar pajak atau denda sedangkan kalangan bawah adalah hukuman badan
dalam hal ini secara fisik. Kemudian, juga berkembang dapur perbudakan yang
kuno terdapat di Roma dan Yunani, namun praktek ini juga mulai dihapuskan pada
abad 18-an.
Sampai pada abad ke 19, penjara
digunakan untuk orang-orang yang sedang menunggu percobaan atau pembayaran
pajak atau denda. Seiring berkembangnya waktu, penjara di darat juga mengalami
kekacauan, disebabkan sudah penuhnya orang-orang di penjara. Untuk mengatasi
itu, maka di bentuklah sebuah model penghukuman baru yaitu penjara di atas
kapal laut. Namun, hal ini juga mengalami kesamaan keadaan. Sehingga, ditemukan
proses penghukuman baru yaitu dengan mengirimkan tahanan ke daerah-daerah baru.
Konsep persamaan juga menjadi tema
utama dalam teori sosial dan politik. Locke,
Montesquieu, dan J.J Roesau percaya bahwa semua manusia dibuat sama dan mereka mempunyai
gaya sendiri dan mempunyai kebebasan kapasitas untuk berkembang. Meskipun
mereka mempunyai alasan berbeda dalam kelas sosial mereka ,– mereka adalah sama
dihadapan hukum dan juga diperlakukan sama.
Beccaria
menyampaikan enam prinsip esensial, diantaranya adalah, dasar dari tindakan
sosial adalah konsep ultilitarisme yang mempunyai jumlah yang sama, dan
kejahatan harus dianggap sebagai sesuatu yang menciderai dan satu-satunya cara
untuk mengukurnya adalah seberapa besar hasil pencideraannya. Dari dua konsep
ini maka benarlah, bahwa persamaan adalah kontekstual tokoh sosial politik saat
itu. Kemudian, hal ini berdampak pada bagaimana penghukuman juga menjadi
pertimbangan kesetimpalan antara korban dan pelaku. Hal senada juga disampaikan
oleh Bentham. Namun, Bentham menambahkan bahwa kriminal
seperti seseorang yang kekurangan disiplin, maka perlu kontrol yang kuat dengan
berbagai alasan. Kemudian, tokoh lain, John
Howard memberikan 4 prinsipnya yang semuanya memberikan perhatian kepada
tahanan. Mulai dari penjagaan terhadap tahanan sampai dengan tempat untuk
tahanan itu sendiri. Hal ini juga lah yang membuat Howard dan Bentham mengembangkan konsep lembaga pemasyarakatan
sebagai cara lain untuk menegakkan asas persamaan.
Jika kita mengkaji efektivitas penjara pada
abad 18-an, penjara dimaksudkan untuk menahan orang yang menunggu tindakan
pengadilan atau mereka yang tidak mampu membayar utang mereka. Ini adalah
beberapa penjara dan lembaga pemasyarakatan yang terdapat pada masa itu,
diantaranya : Walnut Street Jail (Philadephia 1787), Circa (1824), Beamount and
Tocqueville View Eastern Penitentiary (1831). Selain beberapa penjara dan
lembaga pemasyarakatan tersebut, saat itu juga identik dengan sistem dalam
penjara tersebut, yaitu New York sistem dan Pennsylvania sistem. Perbedaan dari
kedua sistem ini hanya terletak pada bagaimana mereka menerapkan sel-sel bagi
tahanan.
Dengan berkembangnya waktu, maka
tercetuslah kriminologi modern yang mulai membahas penghukuman dari sisi moral,
agama dan kelakuan manusia itu sendiri. Beberapa pencetusnya adalah, Lombrosso
(biologis), Enrico Ferri (sosial), Garofalo (psikologis). Dari ketiga aspek
tersebut, juga berdampak pada bagaimana penghukuman model-model lama mulai
dipertimbagkan keadaanya. Karena, mereka melihat ada kesan penderitaan terlalu
mendalam dalam penghukuman model lama.
Maka pada masa kriminologi modern,
penghukuman mulai berubah pandangan, dari pembalasan dendam jadi lebih kepada
proses menyembuhkan para tahanan tersebut. Dalam kata lain adalah untuk membina
tahanan. Hal ini berkembang menjadi satu hal yang dikatakan sebagai
rehabilitasi, yang dapat dilakukan oleh berbagai hal seperti memasukkan unsur
ajaran agama, moral, dan meditasi. Rehabilitasi tersebut juga diklasifiskasikan
dalam berdasarkan tindak pidana, yaitu : keterbelakangan mental, cacat mental,
ketidakdewasaan, penyimpangan mental, amoral, autisme.
Namun, cara-cara seperti ini juga
tidak berjalan dengan lancar. Hal ini juga mendapat kritik keras. Dimana
masyarakat mempertanyakan efektivitas kehadiran rehabilitasi tersebut. Hal ini
didasari ketakutan masyarakat akan kembalinya sifat tahanan tersebut setelah
kembali dari rehabilitasi akibat insting dasar alamiah manusia.
Pada akhirnya, masyarakat harus
mulai berpikir bagaimana kejahatan itu akan tetap ada. Hal ini senada seperti
yang dikatakan oleh Durkheim bahwa
kejahatan adalah gejala sosial. Maka, kejahatan bukanlah hal yang tabu. Namun,
permasalahannya bagaimana kejahatan itu tidak di lakukan secara terus menerus
adalah koreksian dalam hal ini. Karena, hal ini juga berkaitan bagaimana
pemerintah memberikan penyuluhan kepada masyarakat umumnya dan tahanan
khususnya tentang efek dari kejahatan itu sendiri.
Dari titik penjelasan itulah, maka
perlu dibentuk lembaga pemasyarakatan yang jauh lebih lembut daripada penjara.
Hal ini dimksdukan untuk memberikan penyuluhan bagi tahanan dalam kejahatan,
serta pembinaan yang lebih komprehensif untuk tahanan. Ketimbang penjara yang
dinilai tidak manusiawi, karena seringkali melanggar Hak Asasi Manusia.
0 comments:
Posting Komentar